Pages

Definisi hukum adat menurut para sarjana

Definisi hukum adat menurut para sarjana adalah sebagai berikut:

a. Van Vollenhoven menjelaskan bahwa hukum adat adalah Keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi (oleh karena itu disebuthukum) dan di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasikan (oleh karena itu disebut adat).

b. Bushar Muhammad menjelaskan bahwa untuk memberikan definisi hukum ada sulit sekali karena, hukum adat masih dalam pertumbuhan; sifat dan pembawaan hukum adat ialah:
- Tertulis atau tidak tertulis
- Pasti atau tidak pasti
- Hukum raja atau hukum rakyat dan sebagainya.

c. Ter har berpendapat bahwa hukum adat dalam dies tahun 1930 dengan judul “Peradilan landraad berdasarkan hukum tidak tertulis yaitu:
- Hukum adat lahir dari & dipelihara oleh keputusan-keputusan, seperti:
- Keputusan berwibawa dari kepala rakyat (para warga masyarakat hukum)
- Para hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan-keputusan itu tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat (melainkan senafas / seirama).
- Dalam orasi tahun 1937 “Hukum Hindia belanda di dalam ilmu, praktek & pengajaran menjelaskan bahwa hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan para fungsionaris hukum yang berwibawa serta berpengaruh dan yang dalam pelaksanaannya dipatuhi dengan sepenuh hati. (Para fungsionaris hukum: hakim, kepala adat, rapat desa, wali tanah, petugas dilapangan agama, petugas desa lainnya)  ajaran keputusan (Bestissingenteer)

d.Koentjaningrat mengatakan batas antara hukum adat & adat adalah mencari adany empat ciri hukum / attributes of law yaitu:
1.Attribute of authority
Adanya keputusan-keputusan melalui mekanisme yang diberi kuasa dan berpengaruh dalam masyarakat.
2.Attribute of Intention of universal application
Keputusan-keputusan dari pihaj yang berkuasa itu harus di maksudkan sebagai keputusan-keputusan yang mempunyai jangka waktu panjang & harus dianggap berlaku juga terhadap peristiwa-peristiwa yang serupa pada masa akan datang.
3. Attribute of obligation (ciri kewajiban)
Keputusan-keputusan dari pemegang kuasa itu harus mengandung rumusan mengenai hak & kewajiban.
4.Attribute of sanction (ciri penguat)
Keputusan-keputusan dari pemegang kuasa itu harus dikuatkan dengan sanksi dalam arti luas. Bisa berupa sanksi jasmaniah; sanksi rohaniah (rasa malu, rasa dibenci)
Pola pikir dari Koentjaningrat dipengaruhi oleh L. POSPISIT seorang sarjana antroplogi dari amerika serikat.

e.Soerjono Soekanto berpendapat bahwa hukum adat adalah kompleks adat-adat yang tidak dikitabkan (tidak dikodifikasikan) bersifat paksaan (mempunyai akibat hukum.

f.Supomo & hazairin mengambil kesimpulan bahwa hukum adat adalah hukum yang mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungan satu sama lain, baik yang merupakan keseluruhan kelaziman, kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup di masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat itu, maupun yang merupakan keseluruhan peraturan yang mengenal sanksi atas pelanggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa adat. (mereka yang mempunyai kewibawaan dan berkuasa memberi keputusan dalam masyarakat adat itu) yaitu dalam keputusan lurah, penghulu, pembantu lurah, wali tanah, kepala adat, hakim.

g. Ketentuan hasil seminar Hukum adat di Yogyakarta Tahun 1975 tentang definisi hukum adat adalah sebagai berikut:
Hukum adat adalah Hukum indonesia asli yang tidak tertulis dalam perundang-undangan RI dan disana-sini mengandung unsur agama. Kedudukan Hukum Adat sebagai salah satu sumber penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan hukum nasional yang menuju pada unifikasi hukum (penyamaan hukum).

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Sejarah Hukum Adat

Paling tidak ada tiga kategori periodesasi ketika berbicara tentang sejarah hukum Adat, yaitu:

a. Sejarah proses pertumbuhan atau perkembangan hukum Adat itu sendiri.

Peraturan adat istiadat kita ini pada hakikatnya sudah terdapat pada zaman pra Hindu. Adat istiadat tersebut merupakan adat Melayu. Lambat laun datang di kepulauan kita ini kultur Hindu, kemudian kultur Islam dan kultur Kristen yang masing-masing mempengaruhi kultur asli kita.

b. Sejarah hukum Adat sebagai sistem hukum dari tidak/belum dikenal hingga sampai dikenal dalam dunia ilmu pengetahuan.

Sebelum zaman Kompeni–sebelum 1602–tidak diketemukan catatan ataupun tidak terdapat perhatian terhadap hukum Adat. Dalam zaman Kompeni itulah baru bangsa Asing mulai menaruh perhatian terhadap adat istiadat kita.

c. Sejarah kedudukan hukum Adat sebagai masalah politik hukum di dalam sistem perundang-undangan di Indonesia.

Pada periode ini, setidaknya dapat kita bagi menjadi tiga bagian, yaitu: 
1) masa menjelang tahun 1848, 
2) pada tahun 1848 dan seterusnya, dan 
3) sejak tahun 1927, yaitu hukum Adat berganti haluan dari ‘unifikasi’ beralih ke ‘kodifikasi’.

Faktor Yang Mempengaruhi

Di samping faktor astronomis–iklim–dan geografis–kondisi alam–serta watak bangsa yang bersangkutan, maka faktor-faktor terpenting yang mempengaruhi proses perkembangan hukum adat adalah:

a. Magis dan animisme
Alam pikiran mistis-magis serta pandangan hidup animistis-magis sesungguhnya dialami oleh tiap bangsa di dunia ini. Faktor pertama ini khususnya mempengaruhi dalam empat hal, sebagai berikut: 1) pemujaan roh-roh leluhur, 2) percaya adanya roh-roh jahat dan baik, 3) takut kepada hukuman ataupun pembalasan oleh kekuatan gaib, dan 4) dijumpainya orang-orang yang oleh rakyat dianggap dapat melakukan hubungan dengan roh-roh dan kekuatan-kekuatan gaib tersebut.

b. Agama
1) Agama Hindu. Agama ini pada lebih kurang abad ke-8 dibawa oleh orang-orang India masuk ke Indonesia. Pengaruh terbesar agama ini terdapat di Bali meskipun pengaruh dalam hukum Adatnya sedikit sekali.
2) Agama Islam. Pengaruh terbesar nyata sekali terlihat dalam hukum perkawinan, yaitu dalam cara melangsungkan dan memutuskan perkawinan dan juga dalam lembaga wakaf.
3) Agama Kristen. Di sini juga nampak dengan jelas, bahwa di kalangan masyarakat yang sudah memeluk agama Kristen, hukum perkawinan Kristen diresepsi dalam hukum Adatnya.

c. Kekuasaan yang lebih tinggi daripada persekutuan hukum Adat.
Kekuasaan itu adalah kekuasaan yang meliputi daerah-daerah yang lebih luas daripada wilayah satu persekutuan hukum, seperti misalnya kekuasaan raja-raja, kepala Kuria, Nagari dan lain sebagainya.

d. Hubungan dengan orang-orang ataupun kekuasaan asing
Faktor ini sangat besar pengaruhnya. Hukum Adat yang semula sudah meliputi segala bidang kehidupan hukum, oleh kekuasaan asing–kekuasaan penjajahan Belanda–menjadi terdesak sedemikian rupa hingga akhirnya praktis menjadi bidang Perdata material saja.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Hak-Hak Masyarakat Adat dan Posisi Hukum Adat dalam Negara-Bangsa Indonesia

Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka yang harus dibedah lebih dulu adalah menyangkut posisi masyarakat adat dalam tatanan negara-bangsa Indonesia. Para pendiri negara-bangsa (nation-state) Indonesia sejak semula sudah menyadari bahwa negara ini adalah negara kepulauan yang majemuk. Semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" secara filosofis menunjukkan penghormatan bangsa Indonesia atas kemajemukan atau keragaman sosial, budaya dan politik. Dengan semboyan ini para pendiri bangsa telah menempatkan masyarakat adat sebagai elemen dasar dalam struktur negara-bangsa (nation-state) Indonesia
Amandemen Kedua UUD 1945 pasal 18B poin (2) pada bab VI yang mengatur tentang pemerintahan daerah telah menegaskan bahwa: "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang". Pasal ini, walaupun untuk pelaksanaannya masing memerlukan UU, menempatkan komunitas-komunitas masyarakat adat dalam posisi yang kuat dan penting dalam kehidupan berbangsa-bernegara di Indonesia. Pasal ini merupakan landasan konstitusional bagi hak masyarakat adat untuk mengatur dirinya dan menegakkan hukum adatnya.
Amandemen Kedua UUD 1945 pasal 28I poin (3) pada Bab X A yang mengatur tentang Hak Azasi Manusia pada pasal 28-I Ayat (3) semakin memperkuat kedudukan masyarakat adat dengan mengatakan bahwa: "identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban" merupakan hak azasi manusia yang harus dihormati oleh Negara. Dengan penegasan pasal ini, menjadi sangat jelas bahwa apabila satu komunitas masyarakat adat menyatakan dirinya masih hidup maka Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib melindungi hak-hak adatnya. Dengan klausal ini maka konstitusi telah menggariskan bahwa penentuan suatu komunitas sebagai masyarakat adat sepenuhnya berada ditangan komunitas yang bersangkutan (self-identification and self-claiming), bukan ditentukan oleh pemerintah atau oleh para akademisi/ilmuwan/peneliti. Artinya kalau suatu komunitas masyarakat adat bisa menunjukkan identitas budayanya dan hak-hak tradisional yang diwariskan dari leluhurnya (penjelasan pasal 18 UUD 1945 yang sudah diamandemen menyebut hak ini sebagai hak asal asul) yang selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban, maka negara harus hormatinya.
TAP MPR No. IX/2001 yang dimaksudkan untuk menata ulang peraturan perundang-undangan yang terkait dengan sumber agraria dan sumberdaya alam telah menggariskan bahwa salah satu prinsip dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah pengakuan, penghargaan dan perlindungan dari negara terhadap hak-hak masyarakat hukum adat dalam pengelolaan sumberdaya alam.
Sebaliknya, UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, yang secara hirarki hukum berada di bawah konstitusi dan TAP MPR, justru tidak mengakui dan tidak menghargai hak-hak masyarakat adat atas penguasaan/pemilikan atas hutan adat, yaitu kawasan hutan yang berada di wilayah adatnya. Pasal-pasal yang mengangkut hak-hak masyarakat adat dalam UU ini bertentangan dengan acuan hukum di atasnya, yaitu: UUD 1945 dan TAP MPR No. IX/2001. Pengakuan yang ada dalam UU ini atas hak-hak masyarakat adat atas hutan adatnya masih bersifat terbatas dan reduktif, yaitu hanya pemberian hak pengelolaan, sedangkan kepemilikan tetap berada di tangan negara. Dengan demikian maka TAP MPR No. IX/2002 memerintahkan kepada Presiden dan DPR untuk merubah UU No. 41/1999, sehingga UU ini dengan semua peraturan pelaksanaannya yang terkait dengan hak-hak masyarakat adat atas hutan adat sudah tidak layak digunakan sebagai produk hukum untuk menetapkan LEGALITAS penebangan hutan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Hubungan hukum adat Indonesia dengan Pasal 28 (1)

Hubungan hukum adat Indonesia dengan pasal 28 (1) adalah bahwa hakim memenuhi kekosongan hukum, apabila hakim menambah peraturan - perundangan, maka hal ini berarti bahwa hakim memenuhi ruangan kosong dalam sistem hukum formal dari tata hukum yang berlaku.
Menurut Prof. Mr. Paul Scholten mengatakan, bahwa hukum itu merupakan suatu sistem yang terbuka (Open System Van het Recht). Pendapat itu lahir dari kenyataan, bahwa dengan pesatnya kemajuan dan perkembangan masyarakat, menyebabkan hukum menjadi dinamis, terus menerus mengikuti proses perkembangan masyarakat.
Berhubung dengan itulah telah menimbulkan konsekwensi, bahwa hakim dapat dan bahkan harus memenuhi kekosongan yang ada dalam sistem hukum, asalkan penambahan itu tidaklah membawa perubahan prinsipiil pada sistem hukum yang berlaku.
Hukum di Indonesia berasal dari Hukum Eropa Kontinental, kebiasaan (Adat) dan hukum Islam, dan melalui interprestasi hakim dapat menyelaraskan keputusan yang mungkin sulit diambil dalam pengadilan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Macam Hukum Adat Indonesia

Di Indonesia terdiri dari berbagai macam hukum adat yang diantaranya:

1. Masyarakat Hukum Territorial
2. Masyarakat Hukum Genealogis
3. Masyarakat Hukum Territorial – Genealogis
4. Masyarakat Hukum Adat – Keagamaan
5. Masyarakat Adat di Perantauan
6. Masyarakat Adat lainnya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Definisi Hukum Adat

Definisi dari Hukum Adat menurut Prof. H. Hilman Hadikusuma adalah aturan kebiasaan manusia dalam hidup bermasyarakat. Kehidupan manusia berawal dari berkeluarga dan mereka telah mengatur dirinya dan anggotanya menurut kebiasaan, dan kebiasaan itu akan dibawa dalam bermasyarakat dan negara.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1993 Tanggal 27 Pebruari 1993





PENYAKIT YANG TIMBUL KARENA HUBUNGAN KERJA
Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1993 Tanggal 27 Pebruari 1993
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang:

Bahwa untuk lebih meningkatkan perlindungan terhadap tenaga kerja, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja menetapkan perlunya pengaturan mengenai penyakit yang timbul karena hubungan kerja dengan Keputusan Presiden.

Mengingat:

1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program
4. Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 20,
5. Tambahan Lembaran Negara Nomor 3520);


MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENYAKIT YANG TIMBUL KARENA HUBUNGAN KERJA.

Pasal 1

Penyakit yang timbul karena hubungan kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja.

Pasal 2

Setiap tenaga kerja yang menderita penyakit yang timbul karena hubungan kerja berhak mendapat jaminan Kecelakaan Kerja baik pada saat masih dalam hubungan kerja maupun setelah hubungan kerja berakhir.


Pasal 3

(1) Hak atas Jaminan Kecelakaan Kerja bagi tenaga kerja yang hubungan kerjanya telah berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diberikan, apabila menurut hasil diagnosis dokter yang merawat penyakit tersebut diakibatkan oleh pekerjaan selama tenaga kerja yang bersangkutan masih dalam hubungan kerja.

(2) Hak jaminan kecelakaan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan, apabila penyakit tersebut timbul dalam waktu paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak hubungan kerja tersebut berakhir.


Pasal 4

Penyakit yang timbul karena hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan Presiden ini.

Pasal 5

Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.



Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Pebruari 1993
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
SOEHARTO
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Hukum
dan perundang-undangan

ttd.
Bambang Kesowo, S.H., LL.M.

LEMBARAN LEPAS SEKRETARIAT NEGARATAHUN 1993




  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

UNDANG-UNDANG KEPAILITAN


UNDANG-UNDANG KEPAILITAN -

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

UNDANG-UNDANG TENTANG PERKAWINAN

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU)

Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974)

Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

Sumber: LN 1974/1; TLN NO. 3019

Tentang: PERKAWINAN

Indeks: PERDATA. Perkawinan.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA

Presiden Republik Indonesia,

Menimbang :

bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara.

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973.

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan:

UNDANG-UNDANG TENTANG PERKAWINAN.

BAB I

DASAR PERKAWINAN

Pasal 1

Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.

Pasal 2

(1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

(2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 3

(1). Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

(2). Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.

Pasal 4

(1). Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.

(2). Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:

a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;

b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 5

(1). Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;

b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;

c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.

(2). Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

BAB II

SYARAT-SYARAT PERKAWINAN

Pasal 6

(1). Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

(2). Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

(3). Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

(4). Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

(5). Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.

(6). Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Pasal 7

(1). Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.

(2). Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.

(3). Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).

Pasal 8

Perkawinan dilarang antara dua orang yang:

a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas;

b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;

c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;

d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;

e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;

f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

Pasal 9

Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.

Pasal 10

Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Pasal 11

(1). Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.

(2). Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut.

Pasal 12

Tata-cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.

BAB III

PENCEGAHAN PERKAWINAN

Pasal l3

Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Pasal 14

(1). Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah, saudara, wali nikah, wali, pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.

(2). Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini.

Pasal 15

Barang siapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.

Pasal 16

(1). Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini tidak dipenuhi.

(2). Mengenai Pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 17

(1). Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan.

(2). Kepada calon-calon mempelai diberi tahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh pegawai pencatat perkawinan.

Pasal 18

Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan oleh yang mencegah.

Pasal 19

Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut.

Pasal 20

Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.

Pasal 21

(1). Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang ini, maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan.

(2). Didalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan. oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya.

(3). Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan didalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut diatas.

(4). Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan, agar supaya perkawinan dilangsungkan.

(5). Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka.

BAB IV

BATALNYA PERKAWINAN

Pasal 22

Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Pasal 23

Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu :

a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri;

b. Suami atau isteri;

c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;

d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.

Pasal 24

Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.

Pasal 25

Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau ditempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri.

Pasal 26

(1). Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali-nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.

(2). Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.

Pasal 27

(1). Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.

(2). Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.

(3). Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

Pasal 28

(1). Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.

(2). Keputusan tidak berlaku surut terhadap :

a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;

b. Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;

c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.

BAB V

PERJANJIAN PERKAWINAN

Pasal 29

(1). Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

(2). Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.

(3). Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

(4). Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

BAB VI

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI

Pasal 30

Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

Pasal 31

(1). Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

(2). Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

(3). Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.

Pasal 32

(1). Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.

(2). Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersama.

Pasal 33

Suami isteri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.

Pasal 34

(1). Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

(2). Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.

(3). Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugutan kepada Pengadilan.

BAB VII

HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN

Pasal 35

(1). Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

(2). Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Pasal 36

(1). Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.

(2). Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Pasal 37

Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.

BAB VIII

PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA

Pasal 38

Perkawinan dapat putus karena :

a. kematian,

b. perceraian dan

c. atas keputusan Pengadilan.

Pasal 39

(1). Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

(2). Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.

(3). Tatacara perceraian didepan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.

Pasal 40

(1). Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.

(2). Tatacara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.

Pasal 41

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;

b. Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

BAB IX

KEDUDUKAN ANAK

Pasal 42

Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

Pasal 43

(1). Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

(2). Kedudukan anak tersebut ayat (1) diatas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 44

(1). Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan tersebut.

(2). Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.

BAB X

HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK

Pasal 45

(1). Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.

(2). Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

Pasal 46

(1). Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik.

(2). Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus keatas, bila mereka itu memerlukan bantuannya.

Pasal 47

(1). Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.

(2). Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum didalam dan diluar Pengadilan.

Pasal 48

Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan betas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.

Pasal 49

(1). Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal :

a. la sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;

b. la berkelakuan buruk sekali.

(2). Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.

BAB XI

PERWALIAN

Pasal 50

(1). Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali.

(2). Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.

Pasal 51

(1). Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi.

(2). Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik.

(3). Wali wajib mengurus anak yang dibawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya, dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu.

(4). Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu.

(5). Wali bertanggung-jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya.

Pasal 52

Terhadap wali berlaku juga Pasal 48 Undang-undang ini.

Pasal 53

(1). Wali dapat dicabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut dalam Pasal 49 Undang-undang ini.

(2). Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali.

Pasal 54

Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang dibawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan Keputusan Pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut.

BAB XII

KETENTUAN-KETENTUAN LAIN

Bagian Pertama

Pembuktian asal-usul anak

Pasal 55

(1). Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang.

(2). Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.

(3). Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.

Bagian Kedua

Perkawinan diluar Indonesia

Pasal 56

(1). Perkawinan yang dilangsungkan diluar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warganegara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.

(2). Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali diwilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.

Bagian Ketiga

Perkawinan Campuran

Pasal 57

Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Pasal 58

Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.

Pasal 59

(1). Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun mengenai hukum perdata.

(2). Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-undang Perkawinan ini.

Pasal 60

(1). Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi.

(2). Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.

(3). Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak.

(4). Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan yang tersebut ayat (3).

(5). Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan.

Pasal 61

(1). Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang.

(2). Barang siapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang disebut dalam Pasal 60 ayat (4) Undang-undang ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan.

(3). Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan.

Pasal 62

Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1) Undang-undang ini.

Bagian Keempat

Pengadilan

Pasal 63

(1). Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam Undang-undang ini ialah :

a. Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam;

b. Pengadilan Umum bagi lainnya.

(2). Setiap Keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum.

BAB XIII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 64

Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama, adalah sah.

Pasal 65

(1). Dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang baik berdasarkan hukum lama maupun berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini maka berlakulah ketentuan-ketentuan berikut :

a. Suami wajib memberi jaminan hidup yang sama kepada semua isteri dan anaknya;

b. Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi;

c. Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing.

(2). Jika Pengadilan yang memberi izin untuk beristeri lebih dari seorang menurut Undang-undang ini tidak menentukan lain, maka berlakulah ketentuan-ketentuan ayat (1) pasal ini.

B A B XIV

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 66

Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 67

(1). Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya, yang pelaksanaannya secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(2). Hal-hal dalam Undang-undang ini yang memerlukan pengaturan pelaksanaan, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 2 Januari 1974.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SOEHARTO

JENDERAL TNI.

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 2 Januari 1974

MENTERI/SEKRETARIS NEGARA

REPUBLIK INDONESIA,

SUDHARMONO, SH.

MAYOR JENDERAL TNI.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS