Pages

DISSENTING OPINION DALAM TINJAUAN HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA

Majelis hakim yang menangani suatu perkara menurut kebiasaan dalam hukum acara adalah berjumlah 3 (tiga) orang, dari ketiga orang anggota majelis hakim ini apabila dalam musyawarah menjelang pengambilan putusan terdapat perbedaan pendapat diantara satu sama lain maka putusan akan diambil dengan jalan voting atau kalau hal ini tidak memungkinkan, pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa yang akan dipakai dalam putusan. Sedangkan bagi hakim anggota yang kalah suara dalam menentukan putusan, dirinya harus menerima pendapat mayoritas majelis hakim dan dapat menuliskan pendapatnya yang berbeda dengan putusan dalam buku khusus yang dikelola oleh Ketua Pengadilan Negeri dan bersifat rahasia.
Kerahasiaan pendapat hakim yang kalah suara dalam menentukan putusan, sebagaimana yang tertuang dalam Buku II MA tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan telah membuat peradilan menjadi tidak terbuka dan masyarakat yang menaruh harapan tinggi terhadap para hakim untuk mencari keadilan semakin tidak percaya lagi pada dunia peradilan, timbul kecurigaan dari masyarakat tentang adanya praktek KKN dan mafia peradilan.
Permasalahan inilah yang hendak Penulis kaji secara mendalam, kaitannya dengan pencantuman perbedaan majelis hakim dalam putusan (Dissenting Opinion) ditinjau dari Hukum Acara Pidana dan efektifitas akses publik terhadap putusan pengadilan dengan diterapkannya Dissenting Opinion.
Berangkat dari hal tersebut, Penulis berharap bahwa dengan penulisan Tugas Akhir ini, kita akan mengetahui dan memahami penerapan praktis Dissenting Opinion dalam lingkup Hukum Acara Pidana serta mengetahui arti pentingnya Dissenting Opinion dalam rangka penegakkan supremasi hukum di Indonesia khususnya dalam menciptakan peradilan yang terbuka dan transparan.
Adapun hasil kajian dalam penulisan, secara umum dapat dijabarkan, bahwa di negara yang menganut Sistem Hukum Anglo Saxon meskipun seorang hakim yang memiliki pendapat yang berbeda dengan putusan hakim mayoritas, dirinya harus mengalah dan mengakui putusan hakim mayoritas tetapi pendapat dari hakim yang berbeda dengan putusan akan ikut dilampirkan dalam putusan dan menjadi Dissenting Opinion. Belajar dari sini, hakim jangan selalu terpaku pada sistem hukum yang ada, untuk mewujudkan keadilan para hakim berkewajiban menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang ada dalam masyarakat atau dengan kata lain melakukan terobosan hukum agar tidak terjadi kekosongan hukum.
Pelaksanaan Dissenting Opinion sebagai salah satu terobosan hukum yang tidak memungkinkan untuk dilakukan pada Sistem Hukum Eropa Kontinental seperti Indonesia, karena selain Peraturan Perundang-undangannya tidak ada (UU No. 8 tahun 1981 tidak mengatur Dissenting Opinion), juga ketentuan yang ada dalam Buku II MA melarang untuk dilakukan Dissenting Opinion tetapi ternyata hakim ad hoc yang menangani perkara kepailitan dapat melakukan Dissenting Opinion dengan dasar penguat PERMA No. 2 tahun 2000 tentang Perubahan dan Penyempurnaan PERMA No. 3 tahun 1999 tentang Hakim Ad Hoc yang dibuat MA untuk mengisi kekosongan hukum pada UU No. 4 tahun 1998 tentang Kepailitan yang tidak mengatur Dissenting Opinion.
Mahkamah Agung juga tidak keberatan atas pemberlakuan Dissenting Opinion pada putusan kasasi Joko S Chandra yang dilakukan majelis hakim yang dipimpin Sunu Wahadi, tetapi selama belum adanya aturan yang jelas maka tidak bisa dipaksakan agar langkah majelis hakim yang dipimpin Sunu Wahadi untuk memberlakukan Dissenting Opinion tersebut akan diikuti oleh hakim-hakim lainnya.
Untuk itu diperlukan adanya peraturan tentang Pelaksanaan Dissenting Opinion dalam Hukum Acara Pidana, hal ini bisa dilakukan dengan merevisi KUHAP (UU No. 8 tahun 1981) yang didalamnya tidak mengatur Dissenting Opinion, kemudian dipertegas pengaturannya dalam sebuah PERMA seperti yang dilakukan MA pada hakim ad hoc Pengadilan Niaga dan atau dengan mencabut Buku II MA.
Nilai-nilai positif yang bisa diambil dari pelaksanaan Dissenting Opinion selain dapat digunakan masyarakat untuk mengontrol hakim adalah :
1) Akan diketahui pendapat hakim yang berbobot, dalam upaya hukum banding atau kasasi akan menjadi pertimbangan pendapat hakim mana dalam majelis tingkat pertama yang sejalan dengan putusan banding atau kasasi tersebut;
2) Untuk indikator menentukan jenjang karir hakim, karena dari sinilah bisa dijadikan pijakan bersama dalam standar penentuan pangkat dan jabatan, sehingga untuk mengukur prestasi hakim tidak hanya dilihat dari segi usia dan etos kerja semata. Akan tetapi juga mulai dipikirkan penilaian prestasi hakim berdasarkan kualitas putusan hakim;
3) Sebagai upaya untuk menghindari kecurigaan dari masyarakat terhadap praktek KKN dan mafia peradilan;
4) Bahwa dengan Dissenting Opinion, bisa diketahui apakah putusan hakim tersebut sesuai dengan aspirasi hukum yang berkembang dalam masyarakat;
5) Dissenting Opinion juga dapat dipakai mengukur apakah suatu Peraturan Perundang-undangan cukup responsif.
Kebijakkan untuk memberlakukan Dissenting Opinion, harus didukung juga kemudahan bagi masyarakat untuk mendapatkan salinan putusan pengadilan, karena kalau saja masyarakat tetap kesulitan untuk mendapatkan salinan putusan pengadilan seperti saat ini, kebijakkan untuk memberlakukan Dissenting Opinion takkan berarti karena masyarakat tetap saja kesulitan untuk mengetahui pendapat hakim yang berbeda dengan putusan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment