Paradigma filosofis, kebijakan politis, dan peraturan perundang-undangan mengenai sistem pemerintahan dan pemerintahan daerah khususnya, adalah tiga dimensi yang bertalian erat satu sama lain, antara ketiganya ini sudah semenjak tahun 1945 susul menyusul adanya, dalam rangka mencari satu format atau model pemerintahan dan otonomi daerah yang sesuai dengan tuntutan perkembangan politik di Indonesia, baik dalam skala lokal, nasional, regional maupun global.
Silih bergantinya UUD, begitu pula induk policy (misalnya GBHN), disusul peraturan perundang-undangan mengenai pemerintahan dan otonomi daerah, namun sampai hari ini belum juga ditemukan suatu format yang dinilai mantap dan menjanjikan bagi bangsa ini, terlebih lagi bagi masyarakat di daerah. Justru gerakan disentegrasi dan separatisme yang bemunculan dimana-mana.
Semua ini sebaiknya kita pulangkan kepada pernyataan pokok yakni apa latar belakang semua itu ? Di mana letak akar pemasalahannya. Di UUD-kah, di GBHN-kah atau di UU dan lainnyakah ? atau di dalam niat dan tekad serta mental dan perilaku penguasanya di Pusat atau di Daerah-Daerah itukah? Atau di semuanya itukah? Setelah melihat kembali jauh ke belakang berdasarkan pengalaman dan pengamatan di lingkungan pemerintahan itu, lalu menganalisa dari segi-segi teoretis konsepsional maupun praktis-operasional, akhirmya saya berpendapat dan berkeyakinan, bahwa di setiap mata rantai itu masih perlu dibenahi kembali. Dalam situasi yang demikian, maka UUD-Iah sebagai Konsep Dosen Sistem mengenai Nasional. yang akan menjadi sumber paradigma dasar yang ideal, untuk membuahi semua masalah pemerintahan. Termasuk Pemerintahan dan Otonomi Daerah.
Menurut sepanjang pengamatan saya, bangsa ini sedang mencari-cari dan berusaha menemukan satu format konstitusionalisme yang baru bagi dirinya, untuk kepentingan penataan ulang sistem manajemen kehidupan bangsa ini di semua bidang politik ekonomi, sosial budaya dan Hamkam, termasuk mengenai Pemerintahan dan otonomi Daerah.
Konstitusionalisme yang saya maksud bukan konstitusi dalam makna rumus UUD , tetapi ialah isme, ism, pandangan, pemahaman, serta ide atau doktrin untuk mendapatkan satu rumusan bentuk dan pola baru mengenai manajemen kehidupan bangsa ini dengan semua sub-sistemnya, dan ingin ditata kembali menurut paradigma yang jelas, baik paradigma di tataran filosofis maupun politis dan yuridis.
Hilaire Barnett mengatakan: “Coustutionalisme is the doctrine which governs the legitimacy of government action. By constituonalisme is meant – in relation to constituons written and unwitten conformity with the broad philosophical values within a state. Pasal 33 UUD 1945 yang memberikan pesan dan amanat kebijakan (political messages) mengenai format perekonomian nasional (disusun sebagai usaha bersama di antara semua aktor ekonomi) berdasarkan asas kekeluargaan (brotherhood, bukan family relationship), buKan gronyisme juga amanat supaya kekayaan alam tanah air ini dikelola dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (bukan secara oligarkis dan kroniisme), Bahkan supaya fakir miskin dan yatim piatu sebagai kaum lemah beserta kaum-kaum lemah lainnya, terutama dalam hal kehidupan sehari-hari. Juga dalam hukum pemerintahan dan kesempatan kerja dan berusaha, ternyata tidak konsekuen dan konsisten dijadikan sebagai acuan dan referensi konsitusional dalam praktek, kecuali lebih banyak retorika politis lewat GBHN.
Pada hakekatnya, deviasi dan penyimpangan konstitusional yang terjadi selama inilah yang harus dilempangkan supaya kembali ke koridor semestinya. Maka kasus Indonesia ini sebenarnya, ialah satu upaya besar rekonstitusionalisasi dalam rangka mencari format konsititusionalisme yang baru bagi bangsa ini. Menurut hemat dan terpecahkan dan terselesaikan, maka sistem politik dan sistem perekonomian berikut sistem dan sub-sub sistem lainnya tidak akan kunjung mendapat format dan profilnya yang baru yang dinilai memenuhi keinginan masyarakat banyak dan luas.
Semua ini sebaiknya kita pulangkan kepada pernyataan pokok yakni apa latar belakang semua itu ? Di mana letak akar pemasalahannya. Di UUD-kah, di GBHN-kah atau di UU dan lainnyakah ? atau di dalam niat dan tekad serta mental dan perilaku penguasanya di Pusat atau di Daerah-Daerah itukah? Atau di semuanya itukah? Setelah melihat kembali jauh ke belakang berdasarkan pengalaman dan pengamatan di lingkungan pemerintahan itu, lalu menganalisa dari segi-segi teoretis konsepsional maupun praktis-operasional, akhirmya saya berpendapat dan berkeyakinan, bahwa di setiap mata rantai itu masih perlu dibenahi kembali. Dalam situasi yang demikian, maka UUD-Iah sebagai Konsep Dosen Sistem mengenai Nasional. yang akan menjadi sumber paradigma dasar yang ideal, untuk membuahi semua masalah pemerintahan. Termasuk Pemerintahan dan Otonomi Daerah.
Menurut sepanjang pengamatan saya, bangsa ini sedang mencari-cari dan berusaha menemukan satu format konstitusionalisme yang baru bagi dirinya, untuk kepentingan penataan ulang sistem manajemen kehidupan bangsa ini di semua bidang politik ekonomi, sosial budaya dan Hamkam, termasuk mengenai Pemerintahan dan otonomi Daerah.
Konstitusionalisme yang saya maksud bukan konstitusi dalam makna rumus UUD , tetapi ialah isme, ism, pandangan, pemahaman, serta ide atau doktrin untuk mendapatkan satu rumusan bentuk dan pola baru mengenai manajemen kehidupan bangsa ini dengan semua sub-sistemnya, dan ingin ditata kembali menurut paradigma yang jelas, baik paradigma di tataran filosofis maupun politis dan yuridis.
Hilaire Barnett mengatakan: “Coustutionalisme is the doctrine which governs the legitimacy of government action. By constituonalisme is meant – in relation to constituons written and unwitten conformity with the broad philosophical values within a state. Pasal 33 UUD 1945 yang memberikan pesan dan amanat kebijakan (political messages) mengenai format perekonomian nasional (disusun sebagai usaha bersama di antara semua aktor ekonomi) berdasarkan asas kekeluargaan (brotherhood, bukan family relationship), buKan gronyisme juga amanat supaya kekayaan alam tanah air ini dikelola dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (bukan secara oligarkis dan kroniisme), Bahkan supaya fakir miskin dan yatim piatu sebagai kaum lemah beserta kaum-kaum lemah lainnya, terutama dalam hal kehidupan sehari-hari. Juga dalam hukum pemerintahan dan kesempatan kerja dan berusaha, ternyata tidak konsekuen dan konsisten dijadikan sebagai acuan dan referensi konsitusional dalam praktek, kecuali lebih banyak retorika politis lewat GBHN.
Pada hakekatnya, deviasi dan penyimpangan konstitusional yang terjadi selama inilah yang harus dilempangkan supaya kembali ke koridor semestinya. Maka kasus Indonesia ini sebenarnya, ialah satu upaya besar rekonstitusionalisasi dalam rangka mencari format konsititusionalisme yang baru bagi bangsa ini. Menurut hemat dan terpecahkan dan terselesaikan, maka sistem politik dan sistem perekonomian berikut sistem dan sub-sub sistem lainnya tidak akan kunjung mendapat format dan profilnya yang baru yang dinilai memenuhi keinginan masyarakat banyak dan luas.
Sumber : http://makalah.com/
0 comments:
Post a Comment