UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA 
NOMOR 25 TAHUN 1999
TENTANG
NOMOR 25 TAHUN 1999
TENTANG
PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA
PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH
PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
-      bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menyelenggarakan pemerintahan, dan pembangunan untuk mencapai masyarakat adil, makmur, dan merata, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
-      bahwa pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dilaksanakan melalui otonomi daerah dan pengaturan sumber daya nasional, yang memberi kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah yang berdaya guna dan berhasil guna dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan masyarakat, dan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat menuju masyarakat madani yang bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme, untuk itu diperlukan keikutsertaan masyarakat, keterbukaan, dan pertanggungjawaban kepada masyarakat;
-      bahwa untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber pembiayaan berdasarkan desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan, perlu diatur perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah berupa sistem keuangan yang diatur berdasarkan pembagian kewenangan, tugas, dan tanggung jawab yang jelas antar tingkat pemerintahan;
-      bahwa Undang-undang Nomor 32 Tahun 1956 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Negara Dengan Daerah-daerah Yang Berhak Mengurus Rumah-Tangganya Sendiri, sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan serta adanya kebutuhan dan aspirasi masyarakat dalam mendukung otonomi daerah maka perlu ditetapkan Undang-undang yang mengatur perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah;
Mengingat : 
-      Pasal 1 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 20 ayat (1), Pasal 23 ayat (4), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
-      Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional Yang Berkeadilan, Serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
-      Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839;
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : 
UNDANG-UNDANG TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN  ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
-      Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah adalah suatu sistem pembiayaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta pemerataan antar-Daerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan Daerah, sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya;
-      Pemerintah Pusat adalah Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
-      Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
-      Otonomi Daerah adalah Otonomi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
-      Daerah Otonom, yang selanjutnya disebut Daerah, adalah Daerah Otonom sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
-      Kepala Daerah adalah Gubernur bagi Daerah Propinsi atau Bupati bagi Daerah Kabupaten atau Walikota bagi Daerah Kota sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
-      Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang selanjutnya disingkat DPRD, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
-      Desentralisasi adalah Desentralisasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
-      Dekonsentrasi adalah Dekonsentrasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
-      Tugas Pembantuan adalah Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
-      Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah adalah salah satu Sekretariat dalam Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
-      Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang selanjutnya disingkat APBN, adalah suatu rencana keuangan tahunan Negara yang ditetapkan berdasarkan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
-      Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang selanjutnya disingkat APBD, adalah suatu rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
-      Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk membiayai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi;
-      Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan Daerah menerima dari pihak lain sejumlah uang atau manfaat bernilai uang sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali, tidak termasuk kredit jangka pendek yang lazim terjadi dalam perdagangan;
-      Anggaran Dekonsentrasi adalah pelaksanaan APBN di Daerah Propinsi, yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran untuk membiayai pelaksanaan Dekonsentrasi;
-      Anggaran Tugas Pembantuan adalah pelaksanaan APBN di Daerah dan Desa, yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran untuk membiayai pelaksanaan Tugas Pembantuan;
-      Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi;
-      Dana Alokasi Khusus adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada Daerah untuk membantu membiayai kebutuhan tertentu;
-      Dokumen Daerah adalah semua dokumen yang diterbitkan Pemerintah Daerah yang bersifat terbuka dan ditempatkan dalam Lembaran Daerah.
BAB II 
DASAR-DASAR PEMBIAYAAN
PEMERINTAHAN DAERAH
DASAR-DASAR PEMBIAYAAN
PEMERINTAHAN DAERAH
Pasal 2
(1) Penyelenggaraan tugas Daerah dalam rangka  pelaksanaan Desentralisasi dibiayai atas beban APBD.
(2) Penyelenggaraan tugas Pemerintah Pusat yang  dilaksanakan oleh perangkat Daerah Propinsi dalam rangka pelaksanaan  Dekonsentrasi dibiayai atas beban APBN.
(3) Penyelenggaraan tugas Pemerintah Pusat yang  dilaksanakan oleh perangkat Daerah dan Desa dalam rangka Tugas  Pembantuan dibiayai atas beban APBN.
(4) Penyerahan atau pelimpahan kewenangan Pemerintah  Pusat kepada Gubernur atau penyerahan kewenangan atau penugasan  Pemerintah Pusat kepada Bupati/Walikota diikuti dengan pembiayaannya.
BAB III
SUMBER-SUMBER PENERIMAAN
PELAKSANAAN DESENTRALISASI
SUMBER-SUMBER PENERIMAAN
PELAKSANAAN DESENTRALISASI
Bagian Pertama
Sumber-Sumber Penerimaan Daerah
Sumber-Sumber Penerimaan Daerah
Pasal 3
Sumber-sumber penerimaan Daerah dalam pelaksanaan  Desentralisasi adalah:
-      Pendapatan Asli Daerah;
-      Dana Perimbangan;
-      Pinjaman Daerah;
-      Lain-lain Penerimaan yang sah.
Bagian Kedua 
Sumber Pendapatan Asli Daerah
Sumber Pendapatan Asli Daerah
Pasal 4
Sumber Pendapatan Asli Daerah sebagaimana dimaksud  dalam Pasal 3 huruf a terdiri dari:
-      hasil pajak Daerah;
-      hasil retribusi Daerah;
-      hasil perusahaan milik Daerah dan hasil pengelolaan kekayaan Daerah lainnya yang dipisahkan;
-      lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.
Pasal 5
(1) Ketentuan mengenai pajak Daerah dan retribusi  Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a dan huruf b diatur  dengan Undang-undang.
(2) Ketentuan mengenai perusahaan milik Daerah dan  pengelolaan kekayaan Daerah lainnya yang dipisahkan sebagaimana dimaksud  dalam Pasal 4 huruf c diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan  yang berlaku.
Bagian Ketiga
Dana Perimbangan
Dana Perimbangan
Pasal 6
(1) Dana Perimbangan terdiri dari:
-      Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam;
-      Dana Alokasi Umum;
-      Dana Alokasi Khusus.
(2) Penerimaan Negara dari Pajak Bumi dan Bangunan  dibagi dengan imbangan 10% (sepuluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan  90% (sembilan puluh persen) untuk Daerah.
(3) Penerimaaan Negara dari Bea Perolehan Hak atas  Tanah dan Bangunan dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk  Pemerintah Pusat dan 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah.
(4) 10% (sepuluh persen) penerimaan Pajak Bumi dan  Bangunan dan 20% (dua puluh persen) penerimaan Bea Perolehan Hak atas  Tanah dan Bangunan yang menjadi bagian dari Pemerintah Pusat sebagaimana  dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dibagikan kepada seluruh Kabupaten  dan Kota.
(5) Penerimaan negara dari sumber daya alam sektor  kehutanan, sektor pertambangan umum, dan sektor perikanan dibagi dengan  imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 80% (delapan  puluh persen) untuk Daerah.
(6) Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor  pertambangan minyak dan gas alam yang dihasilkan dari wilayah Daerah  yang bersangkutan dibagi dengan imbangan sebagai berikut:
Penerimaan Negara dari pertambangan minyak bumi yang  berasal dari wilayah Daerah setelah dikurangi komponen pajak sesuai  dengan ketentuan yang berlaku dibagi dengan imbangan 85% (delapan puluh  lima persen) untuk Pemerintah Pusat dan 15% (lima belas persen) untuk  Daerah.
Penerimaan Negara dari pertambangan gas alam yang  berasal dari wilayah Daerah setelah dikurangi komponen pajak sesuai  dengan ketentuan yang berlaku dibagi dengan imbangan 70% (tujuh puluh  persen) untuk Pemerintah Pusat dan 30% (tiga puluh persen) untuk Daerah.
Pasal 7
(1) Dana Alokasi Umum ditetapkan sekurang-kurangnya  25% (dua puluh lima persen) dari Penerimaan Dalam Negeri yang ditetapkan  dalam APBN.
(2) Dana Alokasi Umum untuk Daerah Propinsi dan untuk  Daerah Kabupaten/Kota ditetapkan masing-masing 10% (sepuluh persen) dan  90% (sembilan puluh persen) dari Dana Alokasi Umum sebagaimana yang  ditetapkan pada ayat (1).
(3) Dalam hal terjadi perubahan kewenangan di antara  Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota, persentase Dana Alokasi Umum  untuk Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud  pada ayat (2) disesuaikan dengan perubahan tersebut.
(4) Dana Alokasi Umum untuk suatu Daerah Propinsi  tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah Dana Alokasi Umum untuk  seluruh Daerah Propinsi yang ditetapkan dalam APBN, dengan porsi Daerah  Propinsi yang bersangkutan.
(5) Porsi Daerah Propinsi sebagaimana dimaksud pada  ayat (4) merupakan proporsi bobot Daerah Propinsi yang bersangkutan  terhadap jumlah bobot semua Daerah Propinsi di seluruh Indonesia.
(6) Dana Alokasi Umum untuk suatu Daerah  Kabupaten/Kota tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah Dana  Alokasi Umum untuk seluruh Daerah Kabupaten/Kota yang ditetapkan dalam  APBN dengan porsi Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
(7) Porsi Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud  pada ayat (6) merupakan proporsi bobot Daerah Kabupaten/Kota yang  bersangkutan terhadap jumlah bobot semua Daerah Kabupaten/Kota di  seluruh Indonesia.
(8) Bobot Daerah ditetapkan berdasarkan:
- kebutuhan wilayah otonomi Daerah;
- potensi ekonomi Daerah.
(9) Penghitungan dana alokasi umum berdasarkan rumus  sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), dan  ayat (8) dilakukan oleh Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat  dan Daerah.
Pasal 8
(1) Dana Alokasi Khusus dapat dialokasikan dari APBN  kepada Daerah tertentu untuk membantu membiayai kebutuhan khusus, dengan  memperhatikan tersedianya dana dalam APBN.
(2) Kebutuhan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat  (1) adalah:
-      kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum; dan/atau
-      kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional;
(3) Dana Alokasi Khusus sebagaimana dimaksud pada  ayat (1) termasuk yang berasal dari dana reboisasi.
(4) Dana reboisasi dibagi dengan imbangan:
-      40% (empat puluh persen) dibagikan kepada Daerah penghasil sebagai Dana Alokasi Khusus.
-      60% (enam puluh persen) untuk Pemerintah Pusat.
(5) Kecuali dalam rangka reboisasi, Daerah yang  mendapat pembiayaan kebutuhan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2)  menyediakan dana pendamping dari APBD sesuai dengan kemampuan Daerah  yang bersangkutan.
Pasal 9
Besarnya jumlah Dana Perimbangan sebagaimana dimaksud  dalam Pasal 6 ayat (1) ditetapkan setiap tahun anggaran dalam APBN.
Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara penghitungan  dan penyaluran atas bagian Daerah dari penerimaan Negara sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat  (6), dan rumus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4), ayat (5),  ayat (6), ayat (7), dan ayat (8), serta Dana Alokasi Khusus sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 8 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Pinjaman Daerah
Pinjaman Daerah
Pasal 11
(1) Daerah dapat melakukan pinjaman dari sumber dalam  negeri untuk membiayai sebagian anggarannya.
(2) Daerah melakukan pinjaman dari sumber luar negeri  melalui Pemerintah Pusat.
(3) Daerah dapat melakukan pinjaman jangka panjang  guna membiayai pembangunan prasarana yang merupakan aset Daerah dan  dapat menghasilkan penerimaan untuk pembayaran kembali pinjaman, serta  memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat.
(4) Daerah dapat melakukan pinjaman jangka pendek  guna pengaturan arus kas dalam rangka pengelolaan kas Daerah.
Pasal 12
(1) Pinjaman Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal  11 dilakukan dengan persetujuan DPRD.
(2) Pinjaman Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat  (1) dilakukan dengan memperhatikan kemampuan Daerah untuk memenuhi  kewajibannya.
(3) Agar setiap orang dapat mengetahuinya, setiap  perjanjian pinjaman yang dilakukan oleh Daerah diumumkan dalam Lembaran  Daerah.
Pasal 13
(1) Daerah dilarang melakukan Pinjaman Daerah yang  menyebabkan terlampauinya batas jumlah Pinjaman Daerah yang ditetapkan.
(2) Daerah dilarang melakukan perjanjian yang  bersifat penjaminan sehingga mengakibatkan beban atas keuangan Daerah.
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana  dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dikenakan sanksi sesuai peraturan  perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 14
(1) Semua pembayaran yang menjadi kewajiban Daerah  atas Pinjaman Daerah merupakan salah satu prioritas dalam pengeluaran  APBD.
(2) Dalam hal Daerah tidak memenuhi kewajiban  pembayaran atas Pinjaman Daerah dari Pemerintah Pusat, maka Pemerintah  Pusat dapat memperhitungkan kewajiban tersebut dengan Dana Alokasi Umum  kepada Daerah.
Pasal 15
Pelaksanaan Pinjaman Daerah sebagaimana dimaksud  dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 diatur lebih lanjut  dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Dana Darurat
Dana Darurat
Pasal 16
(1) Untuk keperluan mendesak kepada Daerah tertentu  diberikan Dana Darurat yang berasal dari APBN.
(2) Prosedur dan tata cara penyaluran Dana Darurat  sesuai dengan ketentuan yang berlaku bagi APBN.
BAB IV
PENGELOLAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN
DALAM PELAKSANAAN DEKONSENTRASI
PENGELOLAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN
DALAM PELAKSANAAN DEKONSENTRASI
Pasal 17
(1) Pembiayaan dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi  disalurkan kepada Gubernur melalui Departemen/Lembaga Pemerintah Non  Departemen yang bersangkutan.
(2) Pertanggungjawaban atas pembiayaan pelaksanaan  Dekonsentrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Gubernur  kepada Pemerintah Pusat melalui Departemen/Lembaga Pemerintah Non  Departemen yang bersangkutan.
(3) Administrasi keuangan dalam pembiayaan  pelaksanaan Dekonsentrasi dilakukan secara terpisah dari administrasi  keuangan dalam pembiayaan pelaksanaan Desentralisasi.
(4) Penerimaan dan pengeluaran yang berkenaan dengan  pelaksanaan Dekonsentrasi diadministrasikan dalam Anggaran  Dekonsentrasi.
(5) Dalam hal terdapat sisa anggaran lebih dari  penerimaan terhadap pengeluaran dana Dekonsentrasi, maka sisa anggaran  lebih tersebut disetor ke Kas Negara.
(6) Pemeriksaan pembiayaan pelaksanaan Dekonsentrasi  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh instansi pemeriksa  keuangan Negara.
(7) Ketentuan lebih lanjut tentang pembiayaan  pelaksanaan Dekonsentrasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
PENGELOLAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN
DALAM PELAKSANAAN TUGAS PEMBANTUAN
PENGELOLAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN
DALAM PELAKSANAAN TUGAS PEMBANTUAN
Pasal 18
(1) Pembiayaan dalam rangka pelaksanaan Tugas  Pembantuan disalurkan kepada Daerah dan Desa melalui Departemen/Lembaga  Pemerintah Non Departemen yang menugaskannya.
(2) Pertanggungjawaban atas pembiayaan pelaksanaan  Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh  Daerah dan Desa kepada Pemerintah Pusat melalui Departemen/Lembaga  Pemerintah Non Departemen yang menugaskannya.
(3) Administrasi keuangan dalam pembiayaan  pelaksanaan Tugas Pembantuan dilakukan secara terpisah dari administrasi  keuangan dalam pembiayaan pelaksanaan Desentralisasi.
(4) Penerimaan dan pengeluaran yang berkenaan dengan  pelaksanaan Tugas Pembantuan diadministrasikan dalam Anggaran Tugas  Pembantuan.
(5) Dalam hal terdapat sisa anggaran lebih dari  penerimaan terhadap pengeluaran dana Tugas Pembantuan, maka sisa  anggaran lebih tersebut disetor ke Kas Negara.
(6) Pemeriksaan pembiayaan pelaksanaan Tugas  Pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh instansi  pemeriksa keuangan Negara.
(7) Ketentuan lebih lanjut tentang pembiayaan  pelaksanaan Tugas Pembantuan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
PENGELOLAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN
DALAM PELAKSANAAN DESENTRALISASI
PENGELOLAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN
DALAM PELAKSANAAN DESENTRALISASI
Bagian Pertama
Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan dalam
Pelaksanaan Desentralisasi
Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan dalam
Pelaksanaan Desentralisasi
Pasal 19
(1) Semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka  pelaksanaan Desentralisasi dicatat dan dikelola dalam APBD.
(2) Semua penerimaan dan pengeluaran Daerah yang  tidak berkaitan dengan pelaksanaan Dekonsentrasi atau Tugas Pembantuan  merupakan penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan  Desentralisasi.
(3) APBD, Perubahan APBD, dan Perhitungan APBD  ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(4) APBD, Perubahan APBD, dan Perhitungan APBD  merupakan Dokumen Daerah.
Pasal 20
(1) APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah paling  lambat 1 (satu) bulan setelah APBN ditetapkan.
(2) Perubahan APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah  selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya tahun anggaran.
(3) Perhitungan APBD ditetapkan paling lambat 3  (tiga) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan.
Pasal 21
Anggaran pengeluaran dalam APBD tidak boleh melebihi  anggaran penerimaan.
Pasal 22
(1) Daerah dapat membentuk dana cadangan guna  membiayai kebutuhan tertentu.
(2) Dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  dicadangkan dari sumber penerimaan Daerah.
(3) Setiap pembentukan dana cadangan sebagaimana  dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(4) Semua sumber penerimaan dana cadangan sebagaimana  dimaksud pada ayat (1) dan semua pengeluaran atas beban dana cadangan  diadministrasikan dalam APBD.
Pasal 23
(1) Ketentuan tentang pokok-pokok pengelolaan  keuangan Daerah diatur dengan Peraturan Daerah.
(2) Sistem dan prosedur pengelolaan keuangan Daerah  diatur dengan Keputusan Kepala Daerah sesuai dengan Peraturan Daerah  sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Bagian Kedua
Laporan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah
Laporan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah
Pasal 24
(1) Kepala Daerah menyampaikan laporan  pertanggungjawaban kepada DPRD mengenai:
-      pengelolaan keuangan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22;
-      kinerja keuangan Daerah dari segi efisiensi dan efektivitas keuangan dalam pelaksanaan Desentralisasi.
(2) DPRD dalam sidang pleno terbuka menerima atau  menolak dengan meminta untuk menyempurnakan laporan pertanggungjawaban  sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3) Laporan pertanggungjawaban keuangan Daerah  merupakan Dokumen Daerah.
Bagian Ketiga 
Pemeriksaan Keuangan Daerah
Pemeriksaan Keuangan Daerah
Pasal 25
Pemeriksaan atas pelaksanaan, pengelolaan, dan  pertanggungjawaban keuangan Daerah dilakukan sesuai dengan peraturan  perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 26
Ketentuan tentang pokok-pokok pengelolaan dan  pertanggungjawaban keuangan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23  dan Pasal 24, diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII SISTEM INFORMASI KEUANGAN DAERAH
Pasal 27
(1) Pemerintah Pusat menyelenggarakan suatu  sistem informasi keuangan Daerah.
(2) Informasi yang dimuat dalam sistem informasi  keuangan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan data  terbuka yang dapat diketahui masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai  penyelenggaraan sistem informasi keuangan Daerah sebagaimana dimaksud  pada ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Pasal 28
(1) Daerah wajib menyampaikan informasi yang  berkaitan dengan keuangan Daerah kepada Pemerintah Pusat termasuk  Pinjaman Daerah.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud  pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII SEKRETARIAT BIDANG PERIMBANGAN KEUANGAN  PUSAT DAN DAERAH
Pasal 29
(1) Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat  dan Daerah bertugas mempersiapkan rekomendasi Dewan Pertimbangan  Otonomi Daerah mengenai perimbangan keuangan Pusat dan Daerah serta  hal-hal lain yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan Daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Sekretariat  sebagaimana dimaksud pada ayat(1) diatur dengan Keputusan Presiden.
BAB IX KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 30
(1) Peraturan perundang-undangan yang berkaitan  dengan keuangan Daerah sepanjang tidak bertentangan dan belum  disesuaikan dengan Undang-undang ini masih tetap berlaku.
(2) Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat  (1) dilaksanakan selambat-lambatnya 2 (dua) tahun setelah Undang-undang  ini diberlakukan.
Pasal 31
(1) Dalam APBN dapat dialokasikan dana untuk  langsung membiayai urusan Desentralisasi selain dari sumber penerimaan  Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(2) Ketentuan pada ayat (1) hanya berlaku paling  lama 2 (dua) tahun anggaran sejak diundangkannya Undang-undang ini.
(3) Pembiayaan langsung dari APBN sebagaimana  dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari ketentuan Pasal 19 ayat (1).
(4) Setiap tahun anggaran, menteri-menteri teknis  terkait menyusun laporan semua proyek dan kegiatan yang diperinci  menurut:
-          sektor dan subsektor untuk belanja pembangunan;
-          unit organisasi departemen/lembaga pemerintah non departemen untuk pengeluaran rutin;
-          proyek dan kegiatan yang pelaksanaannya dikelola oleh Pemerintah Pusat, serta proyek dan kegiatan yang pelaksanaannya dikelola oleh Daerah untuk semua belanja.
(5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)  disampaikan kepada DPR.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 32
Dengan berlakunya Undang-undang ini,  Undang-undang Nomor 32 Tahun 1956 Tentang Perimbangan Keuangan Antara  Negara Dengan Daerah-daerah, Yang Berhak Mengurus Rumah-Tangganya  Sendiri (Lembaran Negara Tahun 1956 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara  Nomor 1442) dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 33
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal  diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan  pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran  Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 19 Mei 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
pada tanggal 19 Mei 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 Mei 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
pada tanggal 19 Mei 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
PROF. DR. H. MULADI, S.H.
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999  NOMOR 72
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 25 TAHUN 1999
TENTANG
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 25 TAHUN 1999
TENTANG
PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA
PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH
PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH
UMUM
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara  dan pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat adil, makmur, dan  merata berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 1  Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan Negara Indonesia adalah negara  kesatuan yang berbentuk republik. Selanjutnya dalam Pasal 18  Undang-Undang Dasar 1945 beserta penjelasannya menyatakan bahwa daerah  Indonesia terbagi dalam daerah yang bersifat otonom atau bersifat daerah  administrasi.
Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari  pembangunan nasional dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi daerah dan  pengaturan sumber daya nasional yang memberikan kesempatan bagi  peningkatan demokrasi dan kinerja daerah untuk meningkatkan  kesejahteraan masyarakat menuju masyarakat madani yang bebas korupsi,  kolusi, dan nepotisme. Penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai sub  sistem pemerintahan negara dimaksudkan untuk meningkatkan daya guna dan  hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.  Sebagai daerah otonom, Daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab  menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip  keterbukaan, partisipasi masyarakat, dan pertanggung-jawaban kepada  masyarakat.
Dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan,  pelayanan masyarakat, dan pembangunan, maka pemerintahan suatu negara  pada hakekatnya mengemban tiga fungsi utama yakni fungsi alokasi yang  meliputi, antara lain, sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang dan  jasa pelayanan masyarakat, fungsi distribusi yang meliputi, antara lain,  pendapatan dan kekayaan masyarakat, pemerataan pembangunan, dan fungsi  stabilisasi yang meliputi, antara lain, pertahanan-keamanan, ekonomi dan  moneter. Fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi pada umumnya lebih  efektif dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat sedangkan fungsi alokasi pada  umumnya lebih efektif dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah, karena  Daerah pada umumnya lebih mengetahui kebutuhan serta standar pelayanan  masyarakat. Namun dalam pelaksanaannya perlu diperhatikan kondisi dan  situasi yang berbeda-beda dari masing-masing wilayah. Dengan demikian,  pembagian ketiga fungsi dimaksud sangat penting sebagai landasan dalam  penentuan dasar-dasar perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan  Daerah secara jelas dan tegas.
Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi Daerah  diperlukan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab di Daerah  secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan  pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan  keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Sumber pembiayaan pemerintahan  Daerah dalam rangka perimbangan keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah  dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas  pembantuan.
Sumber-sumber pembiayaan pelaksanaan  desentralisasi terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan,  pinjaman daerah, dan lain-lain penerimaan yang sah. Sumber pendapatan  asli daerah merupakan sumber keuangan daerah yang digali dari dalam  wilayah daerah yang bersangkutan yang terdiri dari hasil pajak daerah,  hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan  kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah  yang sah.
Dana perimbangan merupakan sumber pembiayaan yang  berasal dari bagian Daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan  Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam, serta  dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Dana perimbangan tersebut  tidak dapat dipisahkan satu sama lain, mengingat tujuan masing-masing  jenis sumber tersebut saling mengisi dan melengkapi.
Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan  Bangunan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari  sumber daya alam, merupakan sumber penerimaan yang pada dasarnya  memperhatikan potensi daerah penghasil. Dana alokasi umum dialokasikan  dengan tujuan pemerataan dengan memperhatikan potensi daerah, luas  daerah, keadaan geografi, jumlah penduduk, dan tingkat pendapatan  masyarakat di Daerah, sehingga perbedaan antara daerah yang maju dengan  daerah yang belum berkembang dapat diperkecil. Dana alokasi khusus  bertujuan untuk membantu membiayai kebutuhan-kebutuhan khusus Daerah. Di  samping itu untuk menanggulangi keadaan mendesak seperti bencana alam,  kepada Daerah dapat dialokasikan Dana Darurat. Dengan demikian,  Undang-undang ini selain memberikan landasan pengaturan bagi pembagian  keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, juga memberikan landasan  bagi perimbangan keuangan antar Daerah.
Dalam pelaksanaan perimbangan keuangan antara  Pemerintah Pusat dan Daerah tersebut perlu memperhatikan kebutuhan  pembiayaan bagi pelaksanaan kewenangan yang menjadi tanggung jawab  Pemerintah Pusat, antara lain pembiayaan bagi politik luar negeri,  pertahanan-keamanan, peradilan, pengelolaan moneter dan fiskal, agama,  serta kewajiban pengembalian pinjaman Pemerintah Pusat.
Undang-undang ini juga mengatur mengenai  kewenangan Daerah untuk membentuk Dana Cadangan yang bersumber dari  penerimaan Daerah, serta sistem pengelolaan dan pertanggungjawaban  keuangan dalam pelaksanaan desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas  pembantuan. Pertanggungjawaban keuangan dalam rangka desentralisasi  dilakukan oleh Kepala Daerah kepada DPRD. Berbagai laporan keuangan  Daerah ditempatkan dalam dokumen Daerah agar dapat diketahui oleh  masyarakat sehingga terwujud keterbukaan.
Dalam pengelolaan keuangan Daerah. Dalam hal  pemeriksaan keuangan Daerah dilakukan oleh instansi pemeriksa  fungsional. Di samping itu, untuk mendukung kelancaran pelaksanaan  sistem alokasi kepada Daerah, diatur pula sistem informasi keuangan  daerah dan menetapkan Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan  Daerah yang bertugas mempersiapkan rekomendasi mengenai perimbangan  keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. 
Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan  Daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1956 tidak  dapat dilaksanakan sesuai yang diharapkan, karena antara lain beberapa  faktor untuk menghitung pembagian keuangan kepada Daerah belum  memungkinkan untuk dipergunakan. Selain itu, berbagai jenis pajak yang  merupakan sumber bagi pelaksanaan perimbangan keuangan tersebut saat ini  sudah tidak diberlakukan lagi melalui berbagai peraturan perundangan  serta adanya kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang berkembang dalam  mendukung otonomi daerah, maka perlu ditetapkan Undang-undang yang  mengatur perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Berdasarkan uraian di atas, Undang-undang ini  mempunyai tujuan pokok antara lain :
-          Memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah.
-          Menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil, proporsional, rasional, transparan, partisipatif, bertanggungjawab (akuntabel), dan pasti.
-          Mewujudkan sistem perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang mencerminkan pembagian tugas kewenangan dan tanggung jawab yang jelas antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, mendukung pelaksanaan otonomi Daerah dengan penyelenggararaan pemerintahan daerah yang transparan, memperhatikan partisipasi masyarakat dan pertanggungjawaban kepada masyarakat, mengurangi kesenjangan antar Daerah dalam kemampuannya untuk membiayai tanggung jawab otonominya, dan memberikan kepastian sumber keuangan Daerah yang berasal dari wilayah daerah yang bersangkutan.
-          Menjadi acuan dalam alokasi penerimaan negara bagi Daerah.
-          Mempertegas sistem pertanggungjawaban keuangan oleh Pemerintah Daerah.
- Menjadi pedoman pokok tentang keuangan Daerah.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Pasal ini menegaskan arti beberapa istilah yang  digunakan dalam Undang-undang ini, dengan maksud untuk menyamakan  pengertian atas istilah-istilah tersebut, sehingga dapat dihindarkan  kesalahpahaman dalam menafsirkannya.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Penyerahan atau pelimpahan kewenangan Pemerintah Pusat kepada Gubernur atau Bupati/Walikota dapat dilakukan dalam rangka Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan. Setiap penyerahan atau pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada Daerah dalam rangka Desentralisasi dan Dekonsentrasi disertai dengan pengalihan sumber daya manusia, dan sarana serta pengalokasian anggaran yang diperlukan untuk kelancaran pelaksanaan penyerahan dan pelimpahan kewenangan tersebut.
Sementara itu, penugasan dari Pemerintah Pusat  kepada Daerah dalam rangka Tugas Pembantuan disertai pengalokasian  anggaran.
Pasal 3
Huruf a
Yang dimaksud dengan Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh Daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Yang dimaksud dengan Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh Daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Huruf b
Cukup jelas
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Cukup jelas
Huruf d
Lain-lain penerimaan yang sah, antara lain, hibah, Dana Darurat, dan penerimaan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lain-lain penerimaan yang sah, antara lain, hibah, Dana Darurat, dan penerimaan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 4
Huruf a
Cukup jelas
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Cukup jelas
Huruf c
Jenis penerimaan yang termasuk hasil pengelolaan kekayaan Daerah lainnya yang dipisahkan, antara lain, bagian laba, deviden, dan penjualan saham milik Daerah.
Jenis penerimaan yang termasuk hasil pengelolaan kekayaan Daerah lainnya yang dipisahkan, antara lain, bagian laba, deviden, dan penjualan saham milik Daerah.
Huruf d
Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah, antara lain, hasil penjualan aset tetap Daerah dan jasa giro.
Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah, antara lain, hasil penjualan aset tetap Daerah dan jasa giro.
Pasal 5
Ayat (1)
Jenis-jenis pajak Daerah dan retribusi Daerah disesuaikan dengan kewenangan yang diserahkan kepada Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. Penyesuaian tersebut dilakukan dengan mengubah Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Jenis-jenis pajak Daerah dan retribusi Daerah disesuaikan dengan kewenangan yang diserahkan kepada Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. Penyesuaian tersebut dilakukan dengan mengubah Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Ayat (2)
Cukup jelas
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Dana Perimbangan yang terdiri dari 3 (tiga) jenis sumber dana, merupakan sumber pembiayaan pelaksanaan Desentralisasi yang alokasinya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, mengingat tujuan masing-masing jenis penerimaan tersebut saling mengisi dan melengkapi.
Dana Perimbangan yang terdiri dari 3 (tiga) jenis sumber dana, merupakan sumber pembiayaan pelaksanaan Desentralisasi yang alokasinya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, mengingat tujuan masing-masing jenis penerimaan tersebut saling mengisi dan melengkapi.
Huruf a
Yang dimaksud dengan bagian Daerah dari penerimaan sumber daya alam adalah bagian Daerah dari penerimaan Negara yang berasal dari pengelolaan sumber daya alam, antara lain, di bidang pertambangan umum, pertambangan minyak dan gas alam, kehutanan, dan perikanan.
Yang dimaksud dengan bagian Daerah dari penerimaan sumber daya alam adalah bagian Daerah dari penerimaan Negara yang berasal dari pengelolaan sumber daya alam, antara lain, di bidang pertambangan umum, pertambangan minyak dan gas alam, kehutanan, dan perikanan.
Huruf b
Penggunaan dana ini ditetapkan sepenuhnya oleh Daerah.
Penggunaan dana ini ditetapkan sepenuhnya oleh Daerah.
Huruf c
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (2)
Pembagian lebih lanjut antara Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pembagian lebih lanjut antara Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (3)
Pembagian lebih lanjut antara Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pembagian lebih lanjut antara Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (4)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (5)
Bagian Daerah yang berasal dari penerimaan sumber daya alam dari sektor kehutanan, sektor pertambangan umum, dan sektor perikanan yang diterima dari Pemerintah Pusat ditetapkan sebagai berikut:
Bagian Daerah yang berasal dari penerimaan sumber daya alam dari sektor kehutanan, sektor pertambangan umum, dan sektor perikanan yang diterima dari Pemerintah Pusat ditetapkan sebagai berikut:
-          Sektor kehutanan dibagi sebagai berikut:
1) 80% (delapan puluh persen) dari penerimaan  Iuran Hak Pengusahaan Hutan dibagi dengan perincian:
- bagian Propinsi sebesar 16% (enam belas persen);
- bagian Kabupaten/Kota penghasil sebesar 64% (enam puluh empat persen).
2) 80% (delapan puluh persen) dari penerimaan  Provisi Sumber Daya Hutan dibagi dengan perincian:
- bagian Propinsi sebesar 16% (enam belas persen);
-          bagian Kabupaten/Kota penghasil sebesar 32%(tiga puluh dua persen);
-          bagian Kabupaten/Kota lainnya dalam Propinsi yang bersangkutan sebesar 32% (tiga puluh dua persen).
-          Sektor pertambangan umum dibagi sebagai berikut:
1) 80% (delapan puluh persen) dari penerimaan  Iuran Tetap (Land-rent) dibagi dengan perincian:
- bagian Propinsi sebesar 16% (enam belas persen);
- bagian Kabupaten/Kota penghasil sebesar 64% (enam puluh empat persen).
2) 80% (delapan puluh persen) dari penerimaan  iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi (royalty) dibagi dengan  perincian:
- bagian Propinsi sebesar 16%(enam belas persen);
- bagian Kabupaten/Kota penghasil sebesar 32% (tiga puluh dua persen);
- bagian Kabupaten/Kota lainnya dalam Propinsi yang bersangkutan sebesar 32% (tiga puluh dua persen).
-          80% (delapan puluh persen) dari Pungutan Pengusahaan Perikanan dan Pungutan Hasil Perikanan dibagikan secara merata kepada seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia.
Ayat (6)
Huruf a
Bagian Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a ini dibagi dengan perincian sebagai berikut:
Bagian Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a ini dibagi dengan perincian sebagai berikut:
- bagian Propinsi yang bersangkutan sebesar 3% (tiga persen);
- bagian Kabupaten/Kota penghasil sebesar 6% (enam persen);
- bagian Kabupaten/Kota lainnya dalam Propinsi yang bersangkutan sebesar 6% (enam persen).
Huruf b
Bagian Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b ini dibagi dengan perincian sebagai berikut:
Bagian Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b ini dibagi dengan perincian sebagai berikut:
- bagian Propinsi yang bersangkutan sebesar 6% (enam persen);
- bagian Kabupaten/Kota penghasil sebesar 12% (dua belas persen);
- bagian Kabupaten/Kota lainnya dalam Propinsi yang bersangkutan sebesar 12% (dua belas persen).
Pasal 7
Ayat (1)
Dana Alokasi Umum sebagaimana dimaksud pada ayat ini merupakan jumlah seluruh alokasi umum untuk Daerah Propinsi dan untuk Daerah Kabupaten/Kota.
Dana Alokasi Umum sebagaimana dimaksud pada ayat ini merupakan jumlah seluruh alokasi umum untuk Daerah Propinsi dan untuk Daerah Kabupaten/Kota.
Kenaikan Dana Alokasi Umum akan sejalan dengan  penyerahan dan pengalihan kewenangan Pemerintah Pusat kepada Daerah  dalam rangka Desentralisasi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (3)
Penyesuaian persentase sebagaimana dimaksud pada ayat ini ditetapkan dalam APBN.
Penyesuaian persentase sebagaimana dimaksud pada ayat ini ditetapkan dalam APBN.
Ayat (4) dan Ayat (5)
Rumus Dana Alokasi Umum sebagaimana dimaksud pada ayat ini adalah:
Rumus Dana Alokasi Umum sebagaimana dimaksud pada ayat ini adalah:
Dana Alokasi Umum untuk satu Propinsi tertentu =
 Jumlah Dana Alokasi  Bobot Daerah Propinsi yang bersangkutan
Umum untuk Daerah X . .
Propinsi Jumlah bobot dari seluruh Daerah Propinsi
Umum untuk Daerah X . .
Propinsi Jumlah bobot dari seluruh Daerah Propinsi
Ayat (6) dan Ayat (7)
Rumus Dana Alokasi Umum sebagaimana yang dimaksud pada ayat ini adalah:
Rumus Dana Alokasi Umum sebagaimana yang dimaksud pada ayat ini adalah:
Dana Alokasi Umum untuk satu Kabupaten/Kota  tertentu =
Jumlah Dana Alokasi Bobot Daerah  Kabupaten/Kota yang bersangkutan
Umum untuk Daerah X .
Kabupaten/Kota Jumlah bobot dari seluruh Daerah Kabupaten/Kota
Umum untuk Daerah X .
Kabupaten/Kota Jumlah bobot dari seluruh Daerah Kabupaten/Kota
Ayat (8)
Bobot Daerah ditentukan berdasarkan hasil kajian empiris dengan memperhitungkan variabel-variabel yang relevan.
Bobot Daerah ditentukan berdasarkan hasil kajian empiris dengan memperhitungkan variabel-variabel yang relevan.
-          Kebutuhan wilayah otonomi Daerah paling sedikit dapat dicerminkan dari variabel jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan geografi, dan tingkat pendapatan masyarakat dengan memperhatikan kelompok masyarakat miskin.
-          Potensi ekonomi Daerah antara lain dapat dicerminkan dengan potensi penerimaan yang diterima Daerah seperti potensi industri, potensi sumber daya alam, potensi sumber daya manusia, dan Produk Domestik Regional Bruto.
Ayat (9)
Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah juga menyusun dan atau menjaga kemutakhiran data yang merupakan variabel dalam rumus tersebut. Dengan demikian Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah sebagai instansi yang objektif dan independen dapat menjaga keterbukaan dan transparansi dalam pengalokasian Dana Alokasi Umum.
Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah juga menyusun dan atau menjaga kemutakhiran data yang merupakan variabel dalam rumus tersebut. Dengan demikian Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah sebagai instansi yang objektif dan independen dapat menjaga keterbukaan dan transparansi dalam pengalokasian Dana Alokasi Umum.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan secara umum dengan rumus, adalah kebutuhan yang bersifat khusus yang tidak sama dengan kebutuhan Daerah lain, misalnya kebutuhan di kawasan transmigrasi, dan kebutuhan beberapa jenis investasi/prasarana baru, pembangunan jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer, dan saluran drainase primer.
Kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan secara umum dengan rumus, adalah kebutuhan yang bersifat khusus yang tidak sama dengan kebutuhan Daerah lain, misalnya kebutuhan di kawasan transmigrasi, dan kebutuhan beberapa jenis investasi/prasarana baru, pembangunan jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer, dan saluran drainase primer.
Huruf b
Termasuk, antara lain, proyek yang dibiayai donor dan proyek-proyek kemanusiaan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia.
Termasuk, antara lain, proyek yang dibiayai donor dan proyek-proyek kemanusiaan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia.
Ayat (3)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (4)
Huruf a
Dana reboisasi sebagaimana dalam ayat (4) huruf a ini hanya digunakan untuk pembiayaan kegiatan reboisasi dan penghijauan oleh Daerah penghasil.
Dana reboisasi sebagaimana dalam ayat (4) huruf a ini hanya digunakan untuk pembiayaan kegiatan reboisasi dan penghijauan oleh Daerah penghasil.
Huruf b
Dana reboisasi sebagaimana dalam ayat (4) huruf b ini digunakan untuk pembiayaan kegiatan reboisasi secara nasional oleh Pemerintah Pusat.
Dana reboisasi sebagaimana dalam ayat (4) huruf b ini digunakan untuk pembiayaan kegiatan reboisasi secara nasional oleh Pemerintah Pusat.
Ayat (5)
Untuk menyatakan komitmen dan tanggung jawab Daerah dalam pembiayaan program-program yang merupakan kebutuhan khusus tersebut, maka perlu penyediaan dana dari sumber APBD sebagai pendamping atas Dana Alokasi Khusus dari APBN.
Untuk menyatakan komitmen dan tanggung jawab Daerah dalam pembiayaan program-program yang merupakan kebutuhan khusus tersebut, maka perlu penyediaan dana dari sumber APBD sebagai pendamping atas Dana Alokasi Khusus dari APBN.
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Pokok-pokok muatan Peraturan Pemerintah tersebut,  antara lain:
-          tata cara penghitungan dan penyaluran bagian Daerah dari penerimaan Negara yang berasal dari pembagian Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, sumber daya alam sektor kehutanan, sektor
-          pertambangan umum, sektor pertambangan minyak dan gas alam, dan sektor perikanan untuk Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota.
rumus Dana Alokasi Umum yang memuat bobot Daerah  Propinsi, bobot Daerah Kabupaten/Kota, mekanisme penyaluran bagian  Daerah kepada Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota yang  bersangkutan.
-          Dana Alokasi Khusus yang memuat persentase minimum dana pendamping, sektor/kegiatan yang tidak dapat dibiayai, penggunaan Dana Alokasi Khusus, dan peranan menteri yang membidangi perencanaan pembangunan nasional dan menteri teknis terkait serta mekanisme penyaluran bagian Daerah kepada Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal 11
Ayat (1)
Pinjaman dalam negeri dapat bersumber dari Pemerintah Pusat dan/atau lembaga komersial dan/atau penerbitan obligasi Daerah.
Pinjaman dalam negeri dapat bersumber dari Pemerintah Pusat dan/atau lembaga komersial dan/atau penerbitan obligasi Daerah.
Ayat (2) 
Mekanisme pinjaman dari sumber luar negeri melalui Pemerintah Pusat mengandung pengertian bahwa Pemerintah Pusat akan melakukan evaluasi dari berbagai aspek mengenai dapat tidaknya usulan Pinjaman Daerah untuk diproses lebih lanjut. Dengan demikian pemrosesan lebih lanjut usulan Pinjaman Daerah secara tidak langsung sudah mencerminkan persetujuan Pemerintah Pusat atas usulan termaksud.
Mekanisme pinjaman dari sumber luar negeri melalui Pemerintah Pusat mengandung pengertian bahwa Pemerintah Pusat akan melakukan evaluasi dari berbagai aspek mengenai dapat tidaknya usulan Pinjaman Daerah untuk diproses lebih lanjut. Dengan demikian pemrosesan lebih lanjut usulan Pinjaman Daerah secara tidak langsung sudah mencerminkan persetujuan Pemerintah Pusat atas usulan termaksud.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan pinjaman jangka panjang adalah Pinjaman Daerah dengan jangka waktu lebih dari satu tahun dengan persyaratan bahwa biaya pembayaran kembali pinjaman, berupa pokok pinjaman dan/atau bunga dan/atau semua biaya lain, sebagian atau seluruhnya akan dilunasi pada tahun-tahun anggaran berikutnya. Jangka waktu pinjaman jangka panjang tersebut tidak boleh melebihi umur ekonomis prasarana tersebut.
Yang dimaksud dengan pinjaman jangka panjang adalah Pinjaman Daerah dengan jangka waktu lebih dari satu tahun dengan persyaratan bahwa biaya pembayaran kembali pinjaman, berupa pokok pinjaman dan/atau bunga dan/atau semua biaya lain, sebagian atau seluruhnya akan dilunasi pada tahun-tahun anggaran berikutnya. Jangka waktu pinjaman jangka panjang tersebut tidak boleh melebihi umur ekonomis prasarana tersebut.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan pinjaman jangka pendek adalah Pinjaman Daerah dengan jangka waktu kurang atau sama dengan satu tahun dengan persyaratan bahwa biaya pembayaran kembali pinjaman, berupa pokok pinjaman dan/atau bunga dan/atau semua biaya lain, akan dilunasi seluruhnya dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
Yang dimaksud dengan pinjaman jangka pendek adalah Pinjaman Daerah dengan jangka waktu kurang atau sama dengan satu tahun dengan persyaratan bahwa biaya pembayaran kembali pinjaman, berupa pokok pinjaman dan/atau bunga dan/atau semua biaya lain, akan dilunasi seluruhnya dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
Pasal 12
Ayat (1)
Persetujuan DPRD terhadap usulan Pemerintah Daerah untuk mendapatkan pinjaman dilakukan secara seksama dengan mempertimbangkan, antara lain, kemampuan Daerah untuk membayar dan batas maksimum pinjaman.
Persetujuan DPRD terhadap usulan Pemerintah Daerah untuk mendapatkan pinjaman dilakukan secara seksama dengan mempertimbangkan, antara lain, kemampuan Daerah untuk membayar dan batas maksimum pinjaman.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kemampuan Daerah untuk memenuhi kewajibannya adalah kemampuan Daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluaran, baik atas kewajiban pinjaman tersebut maupun pengeluaran lainnya seperti gaji pegawai serta biaya operasional dan pemeliharaan.
Yang dimaksud dengan kemampuan Daerah untuk memenuhi kewajibannya adalah kemampuan Daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluaran, baik atas kewajiban pinjaman tersebut maupun pengeluaran lainnya seperti gaji pegawai serta biaya operasional dan pemeliharaan.
Ayat (3) 
Ketentuan ini dimaksudkan agar terdapat keterbukaan dan pertanggungjawaban yang jelas kepada masyarakat tentang kewajiban pinjaman tersebut.
Ketentuan ini dimaksudkan agar terdapat keterbukaan dan pertanggungjawaban yang jelas kepada masyarakat tentang kewajiban pinjaman tersebut.
Pasal 13
Ayat (1)
Batas jumlah Pinjaman Daerah adalah jumlah pinjaman maksimum yang dapat diterima oleh Daerah dengan memperhatikan indikator kemampuan Daerah untuk meminjam maupun dalam pengembalian pinjaman, yaitu suatu rasio yang menunjukkan tersedianya sejumlah dana dalam periode waktu tertentu untuk menutup kewajiban pembayaran pinjaman.
Batas jumlah Pinjaman Daerah adalah jumlah pinjaman maksimum yang dapat diterima oleh Daerah dengan memperhatikan indikator kemampuan Daerah untuk meminjam maupun dalam pengembalian pinjaman, yaitu suatu rasio yang menunjukkan tersedianya sejumlah dana dalam periode waktu tertentu untuk menutup kewajiban pembayaran pinjaman.
Ayat (2)
Penjaminan yang dimaksud pada ayat ini adalah penjaminan Daerah terhadap antara lain pinjaman perusahaan milik Daerah dan pinjaman swasta dalam rangka pelaksanaan proyek Daerah.
Penjaminan yang dimaksud pada ayat ini adalah penjaminan Daerah terhadap antara lain pinjaman perusahaan milik Daerah dan pinjaman swasta dalam rangka pelaksanaan proyek Daerah.
Ayat (3)
Peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain, adalah Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Kepegawaian, Undang-undang Perbendaharaan Negara, dan KUHP.
Peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain, adalah Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Kepegawaian, Undang-undang Perbendaharaan Negara, dan KUHP.
Pasal 14
Ayat (1)
Dengan menempatkan kewajiban Daerah atas pinjaman Daerah sebagai salah satu prioritas dalam pengeluaran APBD, pemenuhan kewajiban termaksud diharapkan mempunyai kedudukan yang sejajar dengan pengeluaran lain yang harus diprioritaskan Daerah, misalnya pengeluaran yang apabila tidak dilakukan dapat menimbulkan kerawanan sosial. Dengan demikian pemenuhan kewajiban atas pinjaman Daerah tidak dapat dikesampingkan apabila target penerimaan APBD tidak tercapai.
Dengan menempatkan kewajiban Daerah atas pinjaman Daerah sebagai salah satu prioritas dalam pengeluaran APBD, pemenuhan kewajiban termaksud diharapkan mempunyai kedudukan yang sejajar dengan pengeluaran lain yang harus diprioritaskan Daerah, misalnya pengeluaran yang apabila tidak dilakukan dapat menimbulkan kerawanan sosial. Dengan demikian pemenuhan kewajiban atas pinjaman Daerah tidak dapat dikesampingkan apabila target penerimaan APBD tidak tercapai.
Ayat (2)
Pelaksanaan ketentuan ayat ini dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan keuangan Daerah.
Pelaksanaan ketentuan ayat ini dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan keuangan Daerah.
Pasal 15
Pokok-pokok muatan Peraturan Pemerintah tersebut,  antara lain, jenis dan sumber pinjaman, sektor yang dapat dibiayai  dengan dana pinjaman, batas maksimum pinjaman, jangka waktu pinjaman,  dan tata cara mendapatkan pinjaman.
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan keperluan mendesak adalah terjadinya keadaan yang sangat luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi oleh Daerah dengan pembiayaan dari APBD, yaitu bencana alam dan/atau peristiwa lain yang dinyatakan Pemerintah Pusat sebagai bencana nasional.
Yang dimaksud dengan keperluan mendesak adalah terjadinya keadaan yang sangat luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi oleh Daerah dengan pembiayaan dari APBD, yaitu bencana alam dan/atau peristiwa lain yang dinyatakan Pemerintah Pusat sebagai bencana nasional.
Ayat (2)
Cukup jelas
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Kewenangan dan tanggung jawab sehubungan dengan pembiayaan dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi, mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai APBN dan perbendaharaan negara. Dana pembiayaan pelaksanaan Dekonsentrasi tersebut tidak merupakan penerimaan APBD.
Kewenangan dan tanggung jawab sehubungan dengan pembiayaan dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi, mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai APBN dan perbendaharaan negara. Dana pembiayaan pelaksanaan Dekonsentrasi tersebut tidak merupakan penerimaan APBD.
Ayat (2)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (7)
Pokok-pokok muatan Peraturan Pemerintah tersebut, antara lain, pengalokasian dan pengadministrasian keuangan pelaksanaan Dekonsentrasi oleh Gubernur beserta perangkatnya, yang meliputi sistem dan prosedur perencanaan, pelaksanaan pemeriksaan/pengawasan dan pertanggung-jawaban keuangan, sesuai dengan mekanisme keuangan Negara yang berlaku bagi APBN.
Pokok-pokok muatan Peraturan Pemerintah tersebut, antara lain, pengalokasian dan pengadministrasian keuangan pelaksanaan Dekonsentrasi oleh Gubernur beserta perangkatnya, yang meliputi sistem dan prosedur perencanaan, pelaksanaan pemeriksaan/pengawasan dan pertanggung-jawaban keuangan, sesuai dengan mekanisme keuangan Negara yang berlaku bagi APBN.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (7)
Pokok-pokok muatan Peraturan Pemerintah tersebut, antara lain, bentuk dan struktur Anggaran Tugas Pembantuan, pengalokasian dan pengadministrasian keuangan pelaksanaan Tugas Pembantuan oleh Gubernur beserta perangkatnya, yang meliputi sistem dan prosedur perencanaan, pelaksanaan pemeriksaan/pengawasan dan pertanggungjawaban keuangan, sesuai mekanisme keuangan Negara yang berlaku bagi APBN.
Pokok-pokok muatan Peraturan Pemerintah tersebut, antara lain, bentuk dan struktur Anggaran Tugas Pembantuan, pengalokasian dan pengadministrasian keuangan pelaksanaan Tugas Pembantuan oleh Gubernur beserta perangkatnya, yang meliputi sistem dan prosedur perencanaan, pelaksanaan pemeriksaan/pengawasan dan pertanggungjawaban keuangan, sesuai mekanisme keuangan Negara yang berlaku bagi APBN.
Pasal 19
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan dicatat dan dikelola dalam APBD termasuk dicatat dan dikelola dalam perubahan dan perhitungan APBD.
Yang dimaksud dengan dicatat dan dikelola dalam APBD termasuk dicatat dan dikelola dalam perubahan dan perhitungan APBD.
Ayat (2)
Ketentuan ini untuk menjamin bahwa semua penerimaan dan pengeluaran yang dikelola Gubernur atau Bupati/Walikota dengan perangkatnya digolongkan dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi atau dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi atau dalam rangka pelaksanaan Tugas Pembantuan. Sebagai contoh pungutan Puskesmas merupakan penerimaan dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi dan diadministrasikan dalam APBD.
Ketentuan ini untuk menjamin bahwa semua penerimaan dan pengeluaran yang dikelola Gubernur atau Bupati/Walikota dengan perangkatnya digolongkan dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi atau dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi atau dalam rangka pelaksanaan Tugas Pembantuan. Sebagai contoh pungutan Puskesmas merupakan penerimaan dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi dan diadministrasikan dalam APBD.
Ayat (3)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Cukup jelas
Pasal 21
Ketentuan Pasal ini berarti Daerah tidak boleh  menganggarkan pengeluaran tanpa kepastian terlebih dahulu mengenai  ketersediaan sumber pembiayaannya dan mendorong Daerah untuk  meningkatkan efisiensi pengeluarannya.
Pasal 22
Ayat (1)
Ketentuan ayat ini memberi peluang kepada Daerah apabila diperlukan untuk membentuk dana cadangan bagi kebutuhan pengeluaran yang memerlukan dana relatif cukup besar yang tidak dapat dibebankan dalam satu tahun anggaran.
Ketentuan ayat ini memberi peluang kepada Daerah apabila diperlukan untuk membentuk dana cadangan bagi kebutuhan pengeluaran yang memerlukan dana relatif cukup besar yang tidak dapat dibebankan dalam satu tahun anggaran.
Ayat (2)
Dana cadangan dapat disediakan dari sisa anggaran lebih tahun lalu dan/atau sumber pendapatan Daerah.
Dana cadangan dapat disediakan dari sisa anggaran lebih tahun lalu dan/atau sumber pendapatan Daerah.
Ayat (3)
Peraturan Daerah tersebut, antara lain, menetapkan tujuan dana cadangan, sumber pendanaan dana cadangan, dan jenis pengeluaran yang dapat dibiayai dengan dana cadangan tersebut.
Peraturan Daerah tersebut, antara lain, menetapkan tujuan dana cadangan, sumber pendanaan dana cadangan, dan jenis pengeluaran yang dapat dibiayai dengan dana cadangan tersebut.
Ayat (4)
Dana cadangan dibentuk dan diadministrasikan secara terbuka, tidak dirahasiakan, disimpan dalam bentuk kas atau yang mudah diuangkan, dan semua transaksi harus dicantumkan dalam APBD.
Dana cadangan dibentuk dan diadministrasikan secara terbuka, tidak dirahasiakan, disimpan dalam bentuk kas atau yang mudah diuangkan, dan semua transaksi harus dicantumkan dalam APBD.
Diadministrasikan dalam APBD berarti dicatat  saldo awal, semua penerimaan dan pengeluaran, serta saldo akhir dalam  bentuk rincian dana cadangan tersebut.
Pasal 23
Ayat (1)
Pokok-pokok muatan Peraturan Daerah tersebut, antara lain, kerangka dan garis besar prosedur penyusunan APBD, kewenangan keuangan Kepala Daerah dan DPRD, prinsip-prinsip pengelolaan kas, otorisasi pengeluaran kas, tata cara pengadaan barang dan jasa, prosedur melakukan pinjaman, dan pertanggungjawaban keuangan.
Pokok-pokok muatan Peraturan Daerah tersebut, antara lain, kerangka dan garis besar prosedur penyusunan APBD, kewenangan keuangan Kepala Daerah dan DPRD, prinsip-prinsip pengelolaan kas, otorisasi pengeluaran kas, tata cara pengadaan barang dan jasa, prosedur melakukan pinjaman, dan pertanggungjawaban keuangan.
Ayat (2)
Sistem dan prosedur pengelolaan keuangan Daerah meliputi, antara lain, struktur organisasi, dokumentasi, dan prosedur terperinci dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan, yang bertujuan untuk mengoptimalkan efektivitas, efisiensi, dan keamanan. Selain itu, sistem dan prosedur tersebut harus dapat menyediakan informasi kepada Pemerintah Pusat secara akurat dan tepat pada waktunya.
Sistem dan prosedur pengelolaan keuangan Daerah meliputi, antara lain, struktur organisasi, dokumentasi, dan prosedur terperinci dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan, yang bertujuan untuk mengoptimalkan efektivitas, efisiensi, dan keamanan. Selain itu, sistem dan prosedur tersebut harus dapat menyediakan informasi kepada Pemerintah Pusat secara akurat dan tepat pada waktunya.
Pasal 24
Ayat (1)
Laporan pertanggungjawaban keuangan tersebut dinyatakan dalam satu bentuk laporan.
Laporan pertanggungjawaban keuangan tersebut dinyatakan dalam satu bentuk laporan.
Ayat (2)
Penolakan laporan oleh DPRD harus disertai dengan alasannya.
Penolakan laporan oleh DPRD harus disertai dengan alasannya.
Proses lebih lanjut dari penolakan  pertanggungjawaban Kepala Daerah tersebut mengikuti mekanisme  sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah.
Ayat (3)
Cukup jelas
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Pokok-pokok muatan Peraturan Pemerintah tersebut,  antara lain:
- prinsip-prinsip bagi transparansi dan akuntabilitas mengenai penyusunan, perubahan, dan perhitungan APBD, pengelolaan kas, tata cara pelaporan, pengawasan intern, otorisasi, dan sebagainya, serta pedoman bagi sistem dan prosedur pengelolaan;
- pedoman laporan pertanggungjawaban yang berkaitan dengan pelayanan yang dicapai, biaya satuan komponen kegiatan, dan standar akuntansi Pemerintah Daerah, serta persentase jumlah penerimaan APBD untuk membiayai administrasi umum dan pemerintahan umum.
Pasal 27
Ayat (1)
Sumber informasi bagi sistem informasi keuangan Daerah terutama adalah laporan informasi APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal24 ayat (1).
Sumber informasi bagi sistem informasi keuangan Daerah terutama adalah laporan informasi APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal24 ayat (1).
Ayat (2)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (3)
Pokok-pokok muatan Keputusan Menteri Keuangan tersebut, antara lain, instansi yang bertanggung jawab menyusun dan memelihara sistem informasi keuangan Daerah, prosedur perolehan informasi yang diperlukan, dan tata cara penyediaan informasi kepada instansi pemerintah dan masyarakat.
Pokok-pokok muatan Keputusan Menteri Keuangan tersebut, antara lain, instansi yang bertanggung jawab menyusun dan memelihara sistem informasi keuangan Daerah, prosedur perolehan informasi yang diperlukan, dan tata cara penyediaan informasi kepada instansi pemerintah dan masyarakat.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (2)
Pokok-pokok muatan Peraturan Pemerintah tersebut, antara lain, jenis informasi, bentuk laporan informasi, tata cara penyusunan, dan penyampaian informasi kepada Menteri teknis terkait.
Pokok-pokok muatan Peraturan Pemerintah tersebut, antara lain, jenis informasi, bentuk laporan informasi, tata cara penyusunan, dan penyampaian informasi kepada Menteri teknis terkait.
Pasal 29
Ayat (1)
Rekomendasi tersebut, antara lain, mengenai penentuan besarnya Dana Alokasi Umum untuk tiap-tiap Daerah berdasarkan rumus yang telah ditetapkan dan kebijakan pembiayaan Daerah.
Rekomendasi tersebut, antara lain, mengenai penentuan besarnya Dana Alokasi Umum untuk tiap-tiap Daerah berdasarkan rumus yang telah ditetapkan dan kebijakan pembiayaan Daerah.
Ayat (2)
Pokok-pokok muatan Keputusan Presiden tersebut, antara lain, jumlah dan kualifikasi anggota, tata cara pengangkatan, masa kerja, serta tugas dan tanggung jawab anggota Sekretariat.
Pokok-pokok muatan Keputusan Presiden tersebut, antara lain, jumlah dan kualifikasi anggota, tata cara pengangkatan, masa kerja, serta tugas dan tanggung jawab anggota Sekretariat.
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Cukup jelas
Pasal 31
Ayat (1)
Ayat ini memungkinkan pengalokasian dana APBN guna membiayai urusan Desentralisasi secara langsung untuk masa peralihan dua tahun anggaran. Ketentuan ini, antara lain, memungkinkan dana APBN untuk menyelesaikan proyek yang pelaksanaannya telah dimulai dengan dana APBN sektoral sebelum berlakunya Undang-undang ini. Ketentuan ini bertujuan untuk mengurangi secara bertahap, dalam jangka waktu dua tahun tersebut, jumlah anggaran pembiayaan urusan Desentralisasi yang sebelumnya dibiayai langsung dari Pusat melalui departemen teknis.
Ayat ini memungkinkan pengalokasian dana APBN guna membiayai urusan Desentralisasi secara langsung untuk masa peralihan dua tahun anggaran. Ketentuan ini, antara lain, memungkinkan dana APBN untuk menyelesaikan proyek yang pelaksanaannya telah dimulai dengan dana APBN sektoral sebelum berlakunya Undang-undang ini. Ketentuan ini bertujuan untuk mengurangi secara bertahap, dalam jangka waktu dua tahun tersebut, jumlah anggaran pembiayaan urusan Desentralisasi yang sebelumnya dibiayai langsung dari Pusat melalui departemen teknis.
Ayat (2)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan setiap tahun anggaran dalam ketentuan ini adalah untuk 2 (dua) tahun anggaran dalam masa peralihan.
Yang dimaksud dengan setiap tahun anggaran dalam ketentuan ini adalah untuk 2 (dua) tahun anggaran dalam masa peralihan.
Ayat (5)
Cukup jelas
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR  3848

![Validate my RSS feed [Valid RSS]](valid-rss-rogers.png)







 
0 comments:
Post a Comment