Pelaksanaan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia baru pada tahap kebijakan belum menjadi bagian dari sendi-sendi dasar kehidupan berbangsa untuk menjadi faktor integrasi atau persatuan. Problem dasar HAM yaitu penghargaan terhadap martabat dan privasi warga negara sebagai pribadi juga belum ditempatkan sebagaimana mestinya.Demikian disampaikan Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Marzuki Darusman da-lam diskusi yang diselenggarakan Forum Diskusi Wartawan Politik (FDWP) di Wisma Surabaya Post Jakarta, Sabtu (23/8).
Dalam diskusi itu diperbincangkan masalah hak asasi, politik dan demokrasi di Indonesia termasuk hubungan Komnas HAM dan pemerintah. “Pelaksanaan HAM di kita masih maju mundur. Namun itu tidak menjadi soal karena dalam proses,” kata Marzuki. Padahal jika melihat sisi historis, kata Marzuki, HAM di Indonesia beranjak dari amanat penderitaan rakyat untuk mewujudkan kemerdekaan dari penjajah. Begitu pula seperti tercermin dari Sila Kemanusiaan yang berpangkal dari falsafah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam diskusi dipersoalkan bagaimana sebenarnya posisi pemerintah untuk melaksanakan HAM secara tulus. Menurut mantan anggota F-KP DPR itu, di luar negeri bidang-bidang politik, ekonomi selalu dihubungkan dengan masalah HAM. “Makanya mereka mau berisiko demi HAM ini. HAM sudah menyatu,” katanya. Sedangkan di Indonesia, HAM baru merupakan satu kebijakan belum merupakan bagian dari sendi-sendi dasar dari kehidupan berbangsa. Marzuki mengatakan, sebenarnya HAM bisa menjadi faktor integrasi atau pemersatu bangsa. Marzuki menganalogikan pelaksanaan HAM di Indonesia dengan pemahaman masyarakat terhadap lingkungan hidup 10-20 tahun lalu. Lingkungan hidup yang saat itu masih menjadi isu internasional sekarang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat dan pemerintah. “Saat ini, lingkungan hidup sudah menjadi kesadaran nasional,” katanya. Masalah lingkungan hidup tidak hanya menjadi kebijakan nasional namun sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan. “Hal seperti itulah yang saat ini sedang ditempuh oleh HAM,” katanya.
Konstelasi politik
Kondisi HAM di Indonesia menghadapi dua hal dinamis yang terjadi yaitu realitas empiris di mana masyarakat semakin sadar HAM serta kondisi politik. Soal hubungan Komnas HAM dengan pemerintah, Marzuki mengatakan, bagian terbesar dari rekomendasi Komnas HAM terutama kepada pemerintah daerah/gubernur, 60 persen di antaranya mendapat respon yang konstruktif. Persoalan muncul jika kasusnya bermuatan politik, seperti Kasus Marsinah atau Kerusuhan 27 Juli. “Perlu ada pelurusan terhadap gambaran masyarakat soal hu-bungan pemerintah dan Komnas HAM,” katanya. Marzuki mendengar jika ada persepsi di masyarakat bahwa rekomendasi. Komnas HAM tidak dilaksanakan oleh pemerintah. “Kondisi ideal HAM adalah kondisi demokratis,” kata Marzuki. Kesadaran akan HAM maupun pelaksanaannya hanya mungkin jika ada pembaharuan politik.
Dalam beberapa persoalan Marzuki melihat sikap kalangan pemerintah maupun ABRI terhadap masalah HAM tergantung konstelasi politik yang terjadi, bukan pada pemahaman HAM sebenarnya. Misalnya komentar tentang Kerusuhan 27 Juli, satu pihak mengatakan bahwa kasus tersebut sudah selesai, namun yang lainnya mengatakan bahwa langkah-langkah Megawati Soekarnoputri konstitusional. Dia mengedepankan persoalan HAM di Indonesia dengan satu contoh yakni penggunaan istilah yang berkonotasi politik terhadap seseorang yang menyentuh martabat atau privasinya. Istilah gembong, oknum atau otak terutama dalam kerangka kasus-kasus subversif menjadi biasa digunakan oleh masyarakat menjadi sesuatu yang normal. “Padahal itu menyentuh HAM, seseorang digambarkan dengan istilah-istilah,” katanya. Komnas HAM sebenarnya menganut prinsip HAM universal dengan dasar Piagam PBB, Deklarasi HAM serta Pancasila sebagai falsafah politik dan konsitusi UUD ‘45. “Paham HAM universal itu harus disesuaikan dengan nilai budaya yang berlaku,” katanya. Namun kurangnya pemahaman HAM atau karena kepentingan politik seringkali disebut-sebut “HAM di Indonesia sebagai HAM yang khas yang berbeda dengan HAM universal”. “Itu tidak benar. Tidak berarti kita punya prinsip HAM sendiri,” kata mantan Sekjen Pemuda ASEAN tersebut. Yang benar, HAM universal justru harus diimplementasikan dalam masyarakat dan peka terhadap nilai-nilai budaya setempat. “Coba cari HAM khas Indonesia yang tidak ada di HAM universal. Tidak ada,” katanya. Marzuki menilai persoalan antara HAM universal dan HAM kultural malah menjadi perdebatan semu. Padahal sebenarnya itu hanya merupakan mekanisme defensif untuk menghadapi tekanan luar.
0 comments:
Post a Comment