Kejahatan cyber, termasuk di dalamnya penyalahgunaan kartu kredit, akan tak terbendung di Indonesia bila undang-undang cyber (cyber law) tidak segera disusun. Sebab fakta memperlihatkan, ketidaksigapan untuk segera menerbitkan undang-undang itu membuat kejahatan tersebut di Indonesia pada posisi teratas di dunia. Selain Indonesia, juga tercatat Pakistan, Ghana dan Israel yang kejahatan sibernya cukup tinggi.
Tingkat persentase kesempatan pelanggaran besar sekali meskipun nilainya relatif kecil. Tetapi hal itu cukup membuat nama Indonesia tidak baik di mata dunia, termasuk banyak transaksi perdagangan internasional sering ditolak jika berhadapan dengan orang Indonesia.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku saat ini, tidak cukup untuk menjerat pelaku kejahatan lewat 'dunia' maya atau internet, sebab dalam KUHP harus jelas tempat kejadian peristiwanya.
Jika peraturan yang berkaitan dengan masalah ini dapat diwujudkan, diharapkan dapat menekan tingkat kejahatan itu karena dalam UU tersebut menganut azas ekstra juridiksi, yakni tidak mengenal batas wilayah.
sebagai contoh, seorang yang tinggal di Jakarta, membeli HP atau stick golf dari Hong Kong lewat Anjungan Tunai Mandiri/ATM dengan menggunakan nomor rekening bukan miliknya, maka berdasar undang-undang itu nanti dapat diberi sanksi yang berat. Dalam KUHP tidak diatur soal pencurian lewat "dunia maya" itu karena si pembeli itu tidak merasa mencuri.
Cyber law, merupakan hukum yang baru sehingga literaturnya di Indonesia belum banyak. Namun untuk negara maju perangkat hukum yang dapat mengadili para penjahat lewat internet atau dunia maya sudah ada. Di Singapura dan Malaysia perangkat hukum soal cyber law sudah ada.
Pakar multimedia, Roy Suryo yang menilai dengan diundangkan RUU tersebut, pemerintah akan dapat menghemat biaya yang cukup besar, karena penggunaan telepon lewat internet jauh lebih murah. Jika RUU nanti diundangkan, semua aset, utamanya tanah dan bangunan, dapat dilaporkan ke kantor pusat sehingga jika terjadi musibah akan mudah dilakukan penanggulagannya.
Ia mengingatkan, cukup banyak teknolog nakal atau hacker baik dari kalangan birokrat dan kalangan masyarakat (dalam dan luar negeri!) yang justru mampu dan memiliki kapasitas untuk melakukan dan melancarkan bisnis-bisnis yang sifatnya melanggar hukum.
Tujuannya sudah jelas hanya untuk keuntungan dan kepentingan dirinya, kelompoknya serta kebijakan politiknya baik dari segiekonomi, pertahanan serta dan keamanan dalam rangka mendominasi dan menguasai Nusantara yang luas dan kaya raya aklan sumber daya alamnya.
Sedangkan pakar komunikasi, Donato Haryo, menegaskan dampak positif dari internet bagaimanapun juga selalu disertai dengan dampak lainnya yang cenderung untuk menempatkan internet pada pandangan yang negatif. Terdapat beberapa kejadian yang mencoreng nama Indonesia adalah ketika banyaknya pelajar dan mahasiswa atau pengguna internet yang kurang bertanggung jawab membuat tindakan yang merugikan dengan cara melakukan pencurian atau melakukan tindakan yang tidak terarah dan terkonsep melalui internet. Melihat keadaan dan dampak negatif yang terjadi dari internet, telah membuat pemerintah dan para komunitas yang bergerak dalam bidang teknologi Komunikasi dan Informasi berinisiatif untuk membuat draf Electronic Transaction and Information Bill [RUU ITE], di mana hal ini dipercaya bahwa Rancangan Undang-Undang ini mencerminkan cyber law itu sendiri. Perkembangan terakhir sekarang ini adalah bahwa draf tersebut sudah berada di Sekretariat Negara dan sedang menunggu untuk diserahkan kembali dan diserahkan ke pada DPR untuk disidangkan dan disetujui.
Tingkat persentase kesempatan pelanggaran besar sekali meskipun nilainya relatif kecil. Tetapi hal itu cukup membuat nama Indonesia tidak baik di mata dunia, termasuk banyak transaksi perdagangan internasional sering ditolak jika berhadapan dengan orang Indonesia.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku saat ini, tidak cukup untuk menjerat pelaku kejahatan lewat 'dunia' maya atau internet, sebab dalam KUHP harus jelas tempat kejadian peristiwanya.
Jika peraturan yang berkaitan dengan masalah ini dapat diwujudkan, diharapkan dapat menekan tingkat kejahatan itu karena dalam UU tersebut menganut azas ekstra juridiksi, yakni tidak mengenal batas wilayah.
sebagai contoh, seorang yang tinggal di Jakarta, membeli HP atau stick golf dari Hong Kong lewat Anjungan Tunai Mandiri/ATM dengan menggunakan nomor rekening bukan miliknya, maka berdasar undang-undang itu nanti dapat diberi sanksi yang berat. Dalam KUHP tidak diatur soal pencurian lewat "dunia maya" itu karena si pembeli itu tidak merasa mencuri.
Cyber law, merupakan hukum yang baru sehingga literaturnya di Indonesia belum banyak. Namun untuk negara maju perangkat hukum yang dapat mengadili para penjahat lewat internet atau dunia maya sudah ada. Di Singapura dan Malaysia perangkat hukum soal cyber law sudah ada.
Pakar multimedia, Roy Suryo yang menilai dengan diundangkan RUU tersebut, pemerintah akan dapat menghemat biaya yang cukup besar, karena penggunaan telepon lewat internet jauh lebih murah. Jika RUU nanti diundangkan, semua aset, utamanya tanah dan bangunan, dapat dilaporkan ke kantor pusat sehingga jika terjadi musibah akan mudah dilakukan penanggulagannya.
Ia mengingatkan, cukup banyak teknolog nakal atau hacker baik dari kalangan birokrat dan kalangan masyarakat (dalam dan luar negeri!) yang justru mampu dan memiliki kapasitas untuk melakukan dan melancarkan bisnis-bisnis yang sifatnya melanggar hukum.
Tujuannya sudah jelas hanya untuk keuntungan dan kepentingan dirinya, kelompoknya serta kebijakan politiknya baik dari segiekonomi, pertahanan serta dan keamanan dalam rangka mendominasi dan menguasai Nusantara yang luas dan kaya raya aklan sumber daya alamnya.
Sedangkan pakar komunikasi, Donato Haryo, menegaskan dampak positif dari internet bagaimanapun juga selalu disertai dengan dampak lainnya yang cenderung untuk menempatkan internet pada pandangan yang negatif. Terdapat beberapa kejadian yang mencoreng nama Indonesia adalah ketika banyaknya pelajar dan mahasiswa atau pengguna internet yang kurang bertanggung jawab membuat tindakan yang merugikan dengan cara melakukan pencurian atau melakukan tindakan yang tidak terarah dan terkonsep melalui internet. Melihat keadaan dan dampak negatif yang terjadi dari internet, telah membuat pemerintah dan para komunitas yang bergerak dalam bidang teknologi Komunikasi dan Informasi berinisiatif untuk membuat draf Electronic Transaction and Information Bill [RUU ITE], di mana hal ini dipercaya bahwa Rancangan Undang-Undang ini mencerminkan cyber law itu sendiri. Perkembangan terakhir sekarang ini adalah bahwa draf tersebut sudah berada di Sekretariat Negara dan sedang menunggu untuk diserahkan kembali dan diserahkan ke pada DPR untuk disidangkan dan disetujui.
0 comments:
Post a Comment