Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menyebabkan tergesernya bentuk media cetak menjadi hanya bentuk media digital (paper less). Perkembangan tersebut juga diikuti oleh berkembangnya jenis kejahatan baru menggunakan komputer. Pada umumnya kejahatan berbasis komputer merupakan kejahatan biasa, hanya saja karena berbasis komputer, maka terdapat karakteristik khusus yang membedakan dengan kejahatan biasa. Salah satu karakter khususnya ada pada bukti kejahatan berbasis komputer berbeda dengan bukti pada kejahatan konvensional. Bukti pada kejahatan berbasiskan komputer akan mengarahkan suatu peristiwa pidana pada bukti berupa data elektronik, baik yang berada di dalam komputer itu sendiri (hardisk/floppy disc) atau yang merupakan hasil print out, atau dalam bentuk lain, berupa jejak (path) dari suatu aktivitas pengguna komputer. Kejahatan dalam bidang teknologi informasi dengan melakukan serangan elektronik berpotensi menimbulkan kerugian yang lebih besar apalagi dikaitkan kejahatan konvensional, termasuk yang berintensitas tinggi diantaranya, tindak pidana terorisme. Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap Negara. Upaya penanggulangan tindak pidana terorisme diwujudkan pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002, yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Diperlukannya undang-undang ini karena pemerintah menyadari tindak pidana terorisme merupakan suatu tindak pidana yang luar biasa (extraordinary crime). Penguasaan terhadap teknologi sering kali disalahgunakan untuk melakukan suatu kejahatan, diantara ragam kejahatan menggunakan teknologi, terdapat didalamnya suatu bentuk kejahatan terorisme baru, yaitu Cyberterrorism. Penanganan Cyberterrorism berbeda dengan penanganan terorisme konvensional. Salah satu perbedaannya adalah penggunaan alat bukti berupa informasi elektronik. Bagaimanakah peran kode sumber (source code) website sebagai alat bukti dalam pengungkapan tindak pidana terorisme di Indonesia. Dapatkah sebuah kode sumber website dijadikan alat bukti di persidangan Tindak Pidana Terorisme. Penggunaan alat bukti berupa informasi elektronik telah diakomodir oleh Pasal 27 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Untuk mencari dan mendapatkan jawaban atas masalah yang diajukan dengan cara mencari data, dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan dengan cara mencari data, dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan didukung yuridis empiris. Pendekatan secara yuridis normative (Library Research) adalah pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama, menelaah beberapa hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut azas-azas hukum, konsepsi hukum, pandangan, dan doktrin-doktrin hukum, peraturan hukum serta sistem hukum yang berkenaan dengan skripsi yang sedang dibahas atau mempergunakan data sekunder diantaranya ialah azas-azas, kaidah, norma dan aturan hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya. Pendekatan secara yuridis empiris disebut juga dengan sosiologis (Field Research) Dilakukan dengan cara mengadakan penelitian secara langsung kelapangan, yaitu dengan melihat penerapan peraturan perundang-undang atau aturan hukum yang lain yang berkaitan dengan masalah mengenai terorisme, serta melakukan wawancara dengan beberapa responden yang dianggap dapat memberikan informasi mengenai pelaksanaan hukum mengenai penanggulangan terorisme.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan , (1) Peranan kode sumber (source code) website sebagai alat bukti dalam pengungkapan tindak pidana terorisme di Indonesia adalah: dengan adanya data video/audio yang dilinkkan lewat website yang memiliki kode-kode sumber, apabila itu isinya merupakan suatu bukti tindak pidana dari kelompok terorisme maka itu harus dikuatkan dari keterangan saksi ahli agar bisa dijadikan alat bukti digital (digital evidence). (2) kode sumber (source code) website dapat dijadikan alat bukti dipersidangan berdasarkan pasal 27 Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme adalah: karena kode sumber (source code) website masuk kedalam alat bukti digital (digital evidence) yang didasarkan kriteria pengertian alat bukti yang ada didalam Pasal 27 Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme, maka nilai otentifikasi dari bukti digital yang dihasilkan oleh suatu sistem yang berjalan sebagaimana mestinya, dapat diterima dan memiliki nilai otentik serta memiliki kekuatan hukum dalam hal pembuktian di persidangan.
Saran dari penulis adalah perlunya dilakukan revisi mengenai Undang-undang yang mengatur tentang alat bukti digital (digital evidence) dan membuat Undang-undang yang menyingung tentang pemakaian akses dunia maya agar tidak sembarang orang melakukan tindak pidana kejahatan dunia maya (chybercrime), seperti yang dilakukan oleh jaringan terorisme. Pemahaman alat bukti digital dan lalu lintas dunia maya harus ditingkatkan kepada para penyidik khususnya unit Chybercrime.
0 comments:
Post a Comment