DRAFT
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ......... TAHUN ..........
TENTANG
PERFILMAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang:
1. bahwa film merupakan perwujudan jatidiri bangsa mempunyai peranan penting bagi pengembangan dan ketahanan serta perekat budaya bangsa;
2. bahwa film sebagai perekat budaya bangsa perlu mengangkat dan melestarikan budaya daerah;
3. bahwa perfilman Indonesia sebagai salah satu bentuk industri budaya perlu dikembangkan melalui peran serta aktif seluruh komponen bangsa baik pemerintah,
4. swasta, maupun masyarakat untuk terciptanya industri film Indonesia yang kokoh dan mampu bersaing di dalam maupun di luar negeri;
5. bahwa industri perfilman Indonesia mempunyai peranan penting untuk memperluas lapangan kerja dan memeratakan kesempatan berusaha yang mendukung kesejahteraan masyarakat, memerlukan perangkat hukum dan upaya yang lebih memadai bagi pengembangan perfilman Indonesia;
6. bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kebutuhan pengembangan perfilman Indonesia;
7. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, d, dan e perlu penyempurnaan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman.
Mengingat :
Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 20 ayat (1), ayat (2), ayat (4) dan ayat (5); Pasal 21 ayat (1); Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2); Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2); Pasal 32; Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Dasar 1945.
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERFILMAN
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan
1. Film adalah karya cipta seni budaya yang merupakan media komunikasi pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan;
2. Perfilman adalah salah satu bentuk industri budaya yang berhubungan dengan seluruh kegiatan pembuatan, jasa teknik, pengeksporan, pengimporan, pengedaran, pertunjukan, penayangan dan apresiasi film;
3. Pembuatan film adalah suatu pekerjaan pembuatan film untuk menghasilkan film cerita maupun film non cerita untuk dipertunjukan di gedung bioskop maupun ditempat lainnya atau ditayangkan melalui media elektronik
4. Jasa Teknik film adalah penyediaan jasa tenaga profesi, dan/atau peralatan yang diperlukan dalam proses pembuatan film serta usaha pembuatan rekaman video
5. Ekspor film adalah kegiatan untuk mengirim, menjual, memperdagangkan, mengedarkan, mendistribusikan film dalam bentuk apapun baik cerita maupun non cerita dari Indonesia ke luar negeri
6. Impor film adalah kegiatan untuk memasukkan, mendatangkan film dalam bentuk apapun dari luar negeri ke wilayah negara Indonesia
7. Pengedaran film adalah kegiatan penyebarluasan film seluloid dan rekaman video kepada konsumen
8. Pertunjukan film adalah pemutaran film seluloid yang dilakukan melalui proyektor mekanik dalam gedung bioskop atau tempat yang diperuntukkan bagi pertunjukan film atau tempat umum lainnya
9. Penayangan film adalah pemutaran film seluloid dan rekaman video yang dilakukan melalui proyektor elektronik dari stasion pemancaran dan/ atau perangkat elektronik lainnya
10. Penyensoran film adalah penelitian, penilaian dan pemeriksaan terhadap film dan sarana promosi film untuk menentukan dapat tidaknya sebuah film dipertunjukan atau ditayangkan kepada umum dan ditayangkan melalui media elektronik, baik secara utuh maupun setelah peniadaan gambar atau suara yang bertentangan dengan asas kesusilaan yang berlaku dimasyarakat
11. Pengklasifikasian film adalah penelitian, penilaian dan pemeriksaan terhadap film dan sarana promosi film yang akan dipertunjukkan dibioskop untuk menentukan kelompok usia penonton
12. Apresiasi film adalah penilaian dan penghargaan yang baik terhadap suatu karya film
13. Menteri adalah Menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perfilman.
BAB II ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Penyelenggaraan perfilman di Indonesia dilaksanakan berdasarkan asas manfaat, asas kemandirian, asas profesionalitas, asas akuntabilitas publik, asas kebebasan berkreasi, dan asas kebhinekaan dalam persatuan.
Pasal 3
Penyelenggaraan perfilman bertujuan
1. melestarikan dan mengembangkan nilai budaya bangsa;
2. membangun watak, jatidiri, kepribadian, dan meningkatkan harkat serta martabat bangsa;
3. mengembangkan potensi, meningkatkan kreatifitas dan kualitas di bidang perfilman;
4. menyajikan hiburan yang sehat sesuai dengan norma-norma kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;
5. meningkatkan kesejahteraan rakyat;
6. mendorong pertumbuhan dan perkembangan usaha perfilman sebagai industri budaya;
7. meningkatkan perekonomian nasional;
8. promosi Indonesia di dunia internasional.
BAB III FUNGSI DAN LINGKUP
Pasal 4
Film mempunyai fungsi pelestarian dan pengembangan nilai budaya, hiburan, informasi, pendidikan, perekat budaya, kritik sosial dan ekonomi.
Pasal 5
Lingkup Undang-Undang ini meliputi seluruh film, kecuali film berita yang ditayangkan melalui media elektronik.
Pasal 6 .
1. Film merupakan karya cipta Seni budaya yang dilindungi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang bedaku.
2. Film terkait kewajiban serah simpan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB IV USAHA PERFILMAN Bagian Pertama Umurn
Pasal 7
1. Usaha perfilman dilaksanakan oleh badan usaha yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia
2. Jenis Usaha perfilman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi
1. pembuatan film dan sarana promosi film;
2. jasa teknik film;
3. ekspor film;
4. impor film;
5. pengedaran film;
6. pertunjukan film;
7. penayangan film; dan
8. penjualan dan penyewaan film.
3. Jenis usaha perfilman selain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Pasal 8
1. Perusahaan Perfilman didirikan dengan modal awal yang seluruhnya dimiliki oleh warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia.
2. Perusahaan Perfilman sebagaimana diatur dalam ayat (1) dapat melakukan penambahan dan pengembangan dalam rangka pemenuhan modal yang berasal dari modal asing, yang jumlahnya tidak lebih dari 40% (empat puluh per seratus) dari seluruh modal dan minimum dimiliki oleh 2 (dua) pemegang saham.
Pasal 9
1. Penyelenggaraan kegiatan usaha perfilman yang dilaksanakan oleh badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) harus memiliki izin usaha perfilman.
2. Izin usaha perfilman berlaku selama badan usaha yang bersangkutan masih melakukan kegiatan usaha di bidang perfilman.
3. Ketentuan mengenai syarat dan tata cara untuk memperoleh izin usaha perfilman diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
Pasal 10
Usaha perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dilakukan dengan memperhatikan kode etik yang disusun dan ditetapkan oleh masyarakat perfilman sesuai dengan asas dan tujuan penyelenggaraan perfilman.
Pasal 11
1. Dalam melakukan kegiatan usahanya, perusahaan perfilman wajib mengutamakan penggunaan kemampuan nasional yang telah tersedia.
2. Dalam usaha perfilman tidak dibenarkan adanya praktek monopoli yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Kedua
Pembuatan Film
Pasal 12
Pembuatan film didasarkan atas asas kebebasan berkarya dan dilakukan sesuai dengan arah dan tujuan penyelenggaraan perfilman dengan memperhatikan nilai-nilai etika dan moral, budaya bangsa, harkat dan martabat manusia, agama, ketertiban umum dan rasa kesusilaan.
Pasal 13
1. Pembuatan film hanya dapat dilakukan oleh perusahaan perfilman yang memiliki izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1).
2. Pembuatan film oleh pihak asing yang menggunakan lokasi di Indonesia dapat dilakukan berdasarkan izin Menteri.
3. Syarat dan tata cara untuk pembuatan film sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
Pasal 14
Ketentuan memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) tidak berlaku bagi
1. Pembuatan film untuk tujuan khusus;
2. Pembuatan film dengan tujuan apresiasi, eksperimental dan sejenisnya;
Pasal 15
1. Perusahaan Perfilman Indonesia dapat melakukan kerjasama dengan perusahaan perfilman asing berdasarkan izin Menteri.
2. Kerjasama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi kerjasama dalam pembuatan film, penyediaan jasa tertentu di bidang teknik film, serta penggunaan aktris dan aktor serta pekerja kreatif film.
Pasal 16
1. Pembuatan sarana promosi film dapat dilakukan, baik oleh perusahaan pembuatan film atau perusahaan yang bergerak di bidang pembuatan sarana promosi film.
2. Pembuatan sarana promosi film dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 serta wajib memperhatikan kesesuaiannya dengan isi film yang dipromosikan.
Pasal 17
1. Dalam pembuatan film, aktor dan aktris serta pekerja kreatif film berhak mendapatkan perlindungan hukum yang diatur dengan perjanjian kerja yang dibuatnya dengan perusahaan pembuatan film.
2. Hal-hal yang pokok* wajib dicantumkan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri.
(') Hal-hal pokok yang dimaksud
1. Asuransi
2. Jam kerja
3. Royalty
4. Keamanan kerja.
5. Kesehatan kerja.
Bagian Ketiga
Jasa Teknik Film
Pasal 18
Usaha jasa teknik film hanya dapat dilakukan oleh perusahaan perfilman yang memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1).
Pasal 19
Usaha jasa teknik film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 meliputi
1. studio pengambilan gambar;
2. sarana pembuatan film;
3. laboratorium pengolahan film;
4. sarana penyuntingan film;
5. sarana pengisian suara film;
6. sarana pemberian teks film;
7. sarana pencetakan/penggandaan film; dan
8. sarana lain yang mendukung pembuatan film.
Bagian Keempat
Ekspor Film
Pasal 20
1. Usaha ekspor film dapat dilakukan oleh perusahaan ekspor film atau perusahaan pembuatan film untuk produksinya sendiri atau perusahaan pengedar film yang memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1).
2. Usaha ekspor film dilakukan melalui tempat kedudukan lembaga yang bertugas menyensor dan mengklasifikasikan film.
3. Tata cara ekspor film diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Impor Film
Pasal 21
Usaha impor film hanya dapat dilakukan oleh perusahaan impor film yang memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1).
Pasal 22
1. Film impor isinya wajib memperhatikan tata hilai dan norma-norma yang berlaku di Indonesia.
2. Film impor wajib diberi teks bahasa Indonesia.
Pasal 23
Film impor dilarang disulih suarakan ke dalam bahasa Indonesia kecuali film impor yang diperuntukkan untuk pendidikan dan penelitian.
Pasal 24
Impor film dilakukan melalui kantor pabean di tempat kedudukan lembaga yang bertugas melakukan penyensoran dan pengklasifikasian film.
Pasal 25
1. Film yang dimasukkan ke Indonesia oleh perwakilan diplomatik atau badan-badan internasional yang diakui Pemerintah, hanya diperuntukkan bagi kepentingan perwakilan yang bersangkutan.
2. Film sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila hendak dipertunjukkan dan atau ditayangkan kepada umum atas izin Menteri.
3. Film yang dimasukkan ke Indonesia untuk tujuan khusus hanya dapat dilakukan atas izin Menteri.
4. Ketentuan mengenai pemasukan film, syarat, dan tata cara perizinan pertunjukan dan/atau penayangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dan ayat (3), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
Bagian Keenam
Pengedaran Film
Pasal 26
Film Indonesia sebagai bagian dari produk budaya perlu mendapatkan perlakukan khusus dalam peredarannya.
Pasal 27
Usaha pengedaran film hanya dapat dilakukan oleh perusahaan pengedar film dan perusahaan pembuatan film untuk produksnya sendiri yang memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1).
Pasal 28
Film yang dapat diedarkan hanya film yang telah dinyatakan layak untuk dipertunjukkan dan/atau ditayangkan sesuai dengan keputusan lembaga yang bertugas melakukan penyensoran dan pengklasifikasian film.
Pasal 29
1. Kegiatan pengedaran film dilakukan dengan memperhatikan nilai-nilai keagamaan dan sosial budaya yang hidup di kalangan masyarakat daerah yang bersangkutan.
2. Pengaturan mengenai pengedaran film sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketujuh
Pertunjukan dan Penayangan Film
Pasal 30
Usaha pertunjukan dan penayangan film dilakukan oleh perusahaan pertunjukan atau perusahaan penayangan film yang memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1).
Pasal 31
1. Pertunjukan film hanya dapat dilakukan dalam gedung atau tempat yang diperuntukkan bagi pertunjukan film.
2. Film yang dipertunjukkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sudah diklasifikasi oleh lembaga yang berwenang melalukan pengklasifikasian film
3. Pertunjukan film, selain di gedung atau tempat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ayat (2), hanya dapat dilakukan untuk tujuan tertentu.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pertunjukan film sebagaimana dimaksud dengan ayat (1),ayat (2), dan ayat (3) diatur oleh Peraturan Menteri.
Pasal 32
1. Penayangan film dapat dilakukan oleh perusahaan dan/atau komunitas melalui perangkat elektronik.
2. Penayangan film sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh perusahaan yang mempunyai izin sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (1).
3. Film yang ditayangkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) sudah lulus sensor dari lembaga yang berwenang melakukan penyensoran film.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai penayangan melalui media elektronik diatur oleh Peraturan Menteri.
Pasal 33
1. Pertunjukan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2), dilakukan dengan memperhatikan ketentuan penggolongan usia penonton yang telah ditetapkan bagi film yang bersangkutan.
2. Penayangan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2), dilakukan dengan memperhatikan ketentuan penggolongan usia penonton.
Pasal 34
Pertunjukan dan penayangan trailer film selain memperhatikan ketentuan Pasal 31 dan Pasal 32, harus memperhatikan kesesuaiannya dengan isi film yang dipromosikan.
Pasal 35
1. Film yang ternyata menimbulkan gangguan terhadap keamanan, ketertiban, ketentraman, atau keselarasan hidup di masyarakat dapat ditarik dari peredaran.
2. Produser atau pemilik film yang terkena tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat melakukan pembelaan melalui jalur hukum.
3. Penarikan film sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Menteri, setelah mendengar pertimbangan dan saran tertulis dari badan yang berfungsi memberikan pertimbangan dan saran dalam masalah perfilman.
Pasal 36
Apabila suatu film menimbulkan gangguan keamanan, ketertiban, ketenteraman, atau keselarasan kehidupan masyarakat di daerah tertentu, pemerintah daerah dapat melarang film tersebut diedarkan, dipertunjukkan dan/atau ditayangkan diseluruh atau sebagian wilayah administratifnya setelah terlebih dahulu mendapat pertimbangan dari instansi yang terkait.
Bagian Kedelapan
Penjualan dan Penyewaan Film
Pasal 37
1. Usaha penjualan dan penyewaan film dalam bentuk pita video, vcd, dvd, dan hasil teknologi lainnya dilakukan di toko video.
2. Rekaman video dalam bentuk pita video, vcd, dvd, dan hasil teknologi lainnya yang dijual dan/atau disewakan harus sudah dinyatakan lulus sensor oleh lembaga yang bertugas dan melakukan pengklasifikasian film dan digandakan oleh usaha jasa teknik yang telah mendapatkan lzin Usaha Perfilman.
3. Tata cara memperoleh izin usaha penjualan dan penyewaan diatur oleh Menteri.
BAB V
PENYENSORAN DAN PENGKLASIFIKASIAN FILM
Pasal 38
1. Setiap film dan sarana promosi film yang akan diedarkan, dipertunjukkan, dan/atau ditayangkan wajib disensor atau diklasifikasikan.
2. Penyensoran film dilakukan dengan pemotongan dan penghapusan.
3. Pengklasifikasian film dilakukan tanpa pemotongan dan penghapusan.
Bagian Pertama
Penyensoran Film
Pasal 39
1. Penyensoran berlaku bagi film yang akan ditayangkan melalui lembaga penyiaran televisi dan/atau usaha penjualan dan penyewaan untuk umum.
2. Penyensoran sebagaimana dimaksud ayat (1), meliputi gambar, suara dan atau teks (subtitling) serta sulih suara dari suatu film dan sarana promosi suatu film.
3. Ketentuan mengenai penyensoran film sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
Pasal 40
1. Penyensoran film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) dapat mengakibatkan sebuah film
1. diluluskan sepenuhnya;
2. dipotong bagian gambar tertentu;
3. ditiadakan suara tertentu;
4. ditolak seutuhnya;
untuk diedarkan dan/atau ditayangkan.
2. Film yang sudah lulus sensor sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan sesuai batas usia penonton sebagai berikut
1. semua umur;
2. remaja (bimbingan orang tua);
3. dewasa.
3. Film, sarana promosi film atau potongannya yang ditolak oleh lembaga yang berwenang, dilarang diedarkan, diekspor, dipertunjukan, dan/atau ditayangkan kecuali untuk kepentingan penelitian dan/atau penegakan hukum.
4. Terhadap film yang ditolak seutuhnya sebagaimana dimaksud ayat (2), dapat diajukan kembali setelah direvisi oleh pemilik untuk selanjutnya disensor kembali oleh lembaga yang berwenang atau dikembalikan ke negara asal.
Bagian Kedua
Pengklasifikasian Film
Pasal 41
1. Pengklasifikasian berlaku bagi film yang akan dipertunjukkan di bioskop.
2. Pengklasifikasian film sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi gambar, suara dan atau teks (subtitling) serta sulih suara dari suatu film dan sarana promosi suatu film.
3. Ketentuan mengenai pengklasifikasian film sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2) dan (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
Pasal 42
1. Klasifikasi film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan sesuai batas usia penonton sebagai berikut
1. semua umur;
2. 13 tahun keatas;
3. 17 tahun keatas;
4. 21 tahun keatas.
2. Film yang tidak lulus klasifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mengakibatkan film tersebut ditolak seutuhnya.
3. Terhadap film yang ditolak seutuhnya sebagaimana dimaksud ayat (2), dapat diajukan kembali setelah direvisi oleh pemilik untuk selanjutnya diklasifikasi oleh lembaga yang berwenang atau dikembalikan ke negara asal.
Pasal 43
1. Film dan sarana promosi film yang telah diklasifikasi diberi tanda lulus klasifikasi.
2. Terhadap film yang ditolak oleh lembaga yang berwenang, perusahaan film atau pemilik film dapat mengajukan keberatan atau pembelaan kepada badan yang berfungsi memberikan pertimbangan dalam masalah perfilman.
Pasal 44
1. Untuk penyelenggaran penyensoran dan pengklasifikasian film dibentuk Lembaga Sensor dan Klasifikasi Film.
2. Lembaga Sensor dan Klasifikasi Film sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selanjutnya disebut LSKF.
3. Lembaga sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) berada di ibu kota negara dan bersifat nasional.
4. Di Ibukota Propinsi dapat dibentuk lembaga yang bertugas menyensor dan mengklasifikasikan film hasil produksi di wilayahnya, berdasarkan pertimbangan lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
5. Pembentukan, kedudukan, susunan keanggotaan, tugas, fungsi lembaga yang berwenang menyensor dan mengklasifikasikan film, serta pedoman dan kriteria penyensoran dan pengklasifikasian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 45
1. Setiap warga negara Indonesia mempunyai hak yang sama dan kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperanserta dalam berkreasi, berkarya, dan berusaha di bidang perfilman.
2. Dalam rangka mewujudkan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), masyarakat dapat membentuk organisasi perfilman.
BAB VII
PENGEMBANGAN PERFILMAN
Bagian Pertama
Pengembangan Profesi dan Pendidikan
Pasal 46
1. Pemerintah bersama-sama masyarakat menyelenggarakan berbagai kegiatan di bidang profesi perfilman.
2. Profesi film sebagaimana dimaksud ayat (1), terdiri dari pekerja kreatif, pekerja teknik, aktor dan aktris film.
3. Profesi film sebagaimana dimaksud ayat (1) dan (2), wajib memiliki standar kompetensi profesi.
Pasal 47
1. Pemerintah bersama-sama masyarakat menyelenggarakan pendidikan perfilman dalam rangka pengembangan perfilman untuk memenuhi kebutuhan tenaga ahli dan tenaga terampil di bidang perfilman.
2. Penyelenggaraan pendidikan tenaga perfilman sebagaimana dimaksud ayat (1), merupakan bagian dari Sistem Pendidikan Nasional.
Bagian Kedua
Pengembangan Sarana dan Prasarana
Pasal 48
1. Pemerintah memfasilitasi sarana dan prasarana yang bermanfaat bagi pengembangan perfilman nasional.
2. Dalam menyelenggarakan pengembangan perfilman sebagaimana dimaksud ayat (1), pemerintah berupaya untuk:
1. mewujudkan iklim usaha yang mampu meningkatkan kemampuan produksi dan mutu perfilman;
2. menghindarkan persaingan yang tidak sehat dan mencegah timbulnya pemusatan dan penguasaan usaha perfilman pada satu tangan atau satu kelompok yang merugikan usaha dan perkembangan perfilman pada umumnya;
3. melindungi pertumbuhan dan perkembangan perfilman Indonesia dalam arti yang seluas-luasnya;
4. menjaga agar perkembangan perfilman Indonesia dapat tetap berjalan sesuai dengan tujuan dan penyelenggaraan perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3;
5. meningkatkan apresiasi film di kalangan masyarakat;
6. mempromosikan film Indonesia di luar negeri; dan
7. meningkatkan peranan pengarsipan dan kepustakaan film.
Pasal 49
1. Dalam rangka mendorong pengembangan perfilman, pemerintah, pemerintah propinsi dan kabupaten/kota wajib menyisihkan sebagian pendapatan yang diperoleh dari pajak pertunjukan film di bioskop, penayangan film di televisi, peredaran serta penjualan dan penyewaan film.
2. Tata cara pengelolaan pendapatan sebagaimana dimaksud ayat (1), diatur sesuai ketentuan perundangan yang berlaku.
Pasal 50
1. Dalam rangka pengembangan perfilman nasional, pemerintah membentuk lembaga yang berperan memberikan pertimbangan dan bekerjasama dengan pemerintah menyelenggarakan
1. kegiatan peningkatan profesionalisme bidang perfilman.
2. festival film, baik di dalam maupun di luar negeri.
3. kajian dan pengarsipan di bidang perfilman.
2. Susunan keanggotaan lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terdiri dari unsur pemerintah, masyarakat perfilman, dan para ahli di bidangnya.
3. Ketentuan mengenai pembentukan, kedudukan, tugas, fungsi, dan susunan keanggotaan lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN
Pasal 51
1. Pembagian urusan pemerintahan di bidang perfilman dilaksanakan sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembagian urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IX
PENYIDIKAN
Pasal 52
1. Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan perfilman diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perfilman sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
2. Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berwenang
1. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perfilman;
2. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perfilman;
3. meminta keterangan dan bukti dari orang atau badan sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang perfilman;
4. memeriksa orang yang didengar keterangannya sebagai saksi; melakukan pemeriksaan atas alat-alat atau bahan dan barang lain yang berkenaan dengan tindak pidana di bidang perfilman;
5. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perfilman;
6. meminta bantuan ahli dalam rangka melaksanakan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perfilman; dan
7. melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas pengedaran, pertunjukan dan penayangan film.
3. Pelaksanaan lebih lanjut dari kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan seguai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
BAB X
KETENTUAN PIDANA
Pasal 53
Dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah):
1. barang siapa dengan sengaja mengedarkan, mengekspor, mempertunjukan dan/atau menayangkan film dan/atau reklame film yang ditolak oleh lembaga yang berwenang menyensor film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39; atau
2. barang siapa dengan sengaja mengedarkan, mengekspor, mempertunjukan dan/atau menayangkan potongan film dan/atau suara tertentu yang ditolak oleh lembaga yang berwenang menyensor film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39; atau
3. barang siapa dengan sengaja mengedarkan, mengekspor, mempertunjukan dan/atau menayangkan film yang tidak disensor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39.
Pasal 54
1. Dipidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
1. barang siapa melakukan usaha perfilman tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 37.
2. barang siapa mengedarkan, mengekspor, mempertunjukan atau menayangkan reklame film yang tidak disensor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 35, Pasal 38 dan Pasal 40.
3. c.barang siapa melakukan kerja sama dengan perusahaan perfilman asing tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 17.
2. Ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditambah sepertiga jika perusahaan perfilman yang tidak memiliki izin usaha perfilman, mengedarkan, mengekspor, mempertunjukkan, dan/atau menayangkan film dan/atau reklame film yang tidak memiliki tanda lulus sensor.
Pasal 55
1. Atas perintah pengadilan, film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 huruf a dan b, disita untuk dimusnahkan, sedangkan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 huruf c dan reklame film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf b, dapat disita untuk negara.
2. Film dan reklame film yang disita untuk negara dapat disimpan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang tentang Serah Simpan karya Cetak dan Karya Rekam yang berlaku.
Pasal 56
1. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 adalah kejahatan.
2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 adalah pelanggaran.
Pasal 57
Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dan Pasal 54, terhadap perusahaan/badan usaha yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan dalam Pasal 10, Pasal 14 ayat (3), Pasal 15 ayat (2), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) jo. Pasal 34 ayat (5) Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya, dikenakan sanksi denda dan/ atau sanksi administratif berupa pencabutan izin.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 58
Dengan berlakunya Undang-Undang ini, segala peraturan pelaksanaannya di bidang perfilman yang dikeluarkan berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3473) serta badan atau lembaga yang telah ada, tetap berlaku atau tetap menjalankan fungsinya sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Undangundang ini.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 59
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3473) dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 60
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal.........
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal..................
MENTERI HUKUM DAN HAM
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR..... TAHUN 200...
TENTANG PERFILMAN
UMUM
Film sebagai karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar, pembinaan dan pengembangannya diarahkan untuk memantapkan nilai-nilai budaya bangsa, menggelorakan semangat pengabdian dan perjuangan bangsa, memperkokoh persatuan dan kesatuan, mempertebal kepribadian dan mencerdaskan bangsa, serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia, pada gilirannya akan memantapkan ketahanan nasional.
Dengan bertolak dari pedoman tersebut, maka pengaturan perfilman sebagai hasil dan sekaligus cerminan budaya perlu diarahkan sehingga mampu memperkuat upaya pembinaan kebudayaan nasional. Pengaturan perfilman dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah dan kualitas peroduksi film Indonesia dalam fungsinya sebagai komoditi ekonomi dalam upaya mengembangkan usaha perfilman kearah industri yang tetap juga mempertahankan fungsinya sebagai sarana penerangan, pendidikan, dan hiburan.
Masalah ini menjadi semakin penting, terutama apabila dikaitkan dengan kenyataan bahwa peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai landasan pembinaan dan pengembangan perfilman Indonesia sudah tidak memadai dengan situasi dan kondisi yang dihadapkan pada situasi perdagangan bebas yang penuh persaingan. Maka, berdasarkan hal tersebut, dilakukanlah penyempurnaan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman.
Melalui undang-undang ini, upaya pengaturan perfilman Indonesia diusahakan agar tidak saja menjangkau seluruh aspek perfilman, tetapi juga diarahkan pada perwujudan tatanan perfilman secara utuh.
Pengaturan perfilman dalam undang-undang ini disusun berdasarkan pokokpokok pemikiran sebagai berikut
1. Menegaskan secara jelas bahwa Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan filosofis dan konstitusional yang merupakan panduan dalam menumbuhkan dan mengembangkan perfilman di Indonesia sehingga sebagai salah satu sarana pengembangan budaya bangsa, film tetap mampu memperkuat kebudayaan nasional dan mencerminkan pandangan hidup bangsa serta nilai budaya bangsa.
2. Tersusunnya landasan yuridis dan sosiologis yang mampu menjaga kesimbangan antara aspek idiil dan aspek ekonomi dalam usaha perfilman yang dalam pengembangannya harus tetap sesuai dengan jiwa Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
3. Dalam upaya mewujudkan iklim yang sehat bagi perfilman Indonsia, pengembangan perfilman dilakukan terhadap berbagai kegiatan perfilman secara menyeluruh dan terpadu sejak tahap produksi sampai dengan tahap pertunjukan atau penayangan dalam suatu mata rantai yang berkesinambungan dengan memperhatikan berbagai kepentingan, sehingga tercapai hasil yang optimal sejalan dengan dasar, dan tujuan penyelenggaraan perfilman.
Termasuk dalam pembinaan dan pengembangan ini adalah upaya menciptakan iklim yang dapat memacu pertumbuhan produksi film Indonesia serta bimbingan dan perlindungan agar penyelenggaraan usaha dapat berlangsung secara harmonis, saling mengisi, dan mencegah adanya tindakan yang menjurus pada persaingan yang tidak sehat ataupun pemusatan pada satu tangan atau satu kelompok.
4. Untuk menjaga agar kehidupan dan pertumbuhan perfilman dapat tetap berjalan seiring dengan pandangan hidup dan kebudayaan bangsa, serta untuk melindungi masyarakat akan dampak negatif yang diakibatkan oleh film, maka setiap film yang akan diedarkan, diekspor, dipertunjukkan, dan atau ditayangkan harus disensor terlebih dahulu.
5. Mengingat dampak yang dapat diakibatkan oleh film, maka tindak pidana dibidang perfilman diberi sanksi yang cukup berat.
Dengan latar belakang pemikiran tadi, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3473) dinyatakan tidak berlaku lagi.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1
Yang termasuk film sebagai media komunikasi massa pandang-dengar (audio-visual) dalam undang-undang ialah
1. yang dibuat dengan bahan baku pita seluloid melalui proses kimiawi, yang lazim disebut film;
2. yang dibuat dengan bahan pita video atau piringan video melalui proses elektronik, yang lazim disebut rekaman video.
3. yang dibuat dengan bahan baku lainnya atau melalui proses lainnya sebagai hasil perkembangan teknologi, dikelompokan sebagai media komunikasi massa pandang-dengar.
Angka 2 Cukup jelas
Angka 3 Cukup jelas
Angka 4
Pada dasarnya klasifikasi film adalah penelitian dan penggolongan usia penonton atas sebuah film. Perbedaannya dengan penyensoran film, pengklasifikasian dilakukan terhadap film tanpa pemotongan dan hanya akan dipertunjukkan di bioskop. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa film yang akan dipertunjukkan di bioskop hanya dapat ditonton sesuai dengan klasifikasi usia yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang menyensor dan mengklasifikasi film. Klasifikasi film ini juga dimaksudkan sebagai awal pembelajaran bagi masyarakat untuk suatu saat nanti siap menyaring sendiri dalam menghadapi globalisasi informasi melalui film.
Angka 5 Cukup jelas
Pasal 2 Cukup jelas
Pasal 3 Cukupjelas
Pasal 4 Cukupjelas
Pasal 5 Cukup jelas
Pasal 6 Cukup jelas
Pasal 7 Cukupjelas
Pasal 8 Cukupjelas
Pasal 9
Ayat 1
Pada hakekatnya usaha perfilman dilakukan oleh badan hukum, yaitu perseroan terbatas atau koperasi atau bentuk lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk usaha-usaha perfilman berskala kecil seperti usaha pertunjukan film keliling dan usaha penjualan dan/atau penyewaan film disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat 2 Cukupjelas
Ayat 3 Cukup jelas
Pasal 10 Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kemampuan nasional adalah sumber daya, baik manusia, potensi, maupun fasilitas yang tersedia di Indonesia Sumber daya manusia, antara lain terdiri dari produser, karyawan film, dan artis film. Potensi dan fasilitas antara lain dapat berupa kekayaan dan keindahan alam, jasa teknik dan budaya bangsa.
Ketentuan ini dimaksudkan agar perusahaan perfilman menghargai, ikut memiliki serta ikut memelihara dan mencintai kemampuan nasional yang tersedia.
Ayat (2)
Larangan praktek monopoli dimaksudkan untuk memberikan kesempatan pemerataan dibidang usaha perfilman termasuk memberikan kesempatan bekerja bagi insan perfilman.
Pasal 12
Yang dimaksud dengan kebebasan berkarya adalah kebebasan untuk menghasilkan karya berdasarkan kemampuan imajinasi, daya cipta, rasa atau karsa, baik dalam bentuk, makna ataupun caranya. Dengan kebebasan berkarya, diharapkan mampu mengembangkan kreativitas perfilman dalam rangka pengembangan budaya bangsa
Pasal 13 Cukup jelas
Pasal14
1. Film untuk tujuan khusus adalah film yang dibuat oleh instansi pemerintah, lembaga atau organisasi dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsinya, seperti film-film penyuluhan pertanian, kesehatan atau film yang dibuat oleh kelompok orang atau perseorangan; misalnya film-film perkawinan dan ulang tahun.
2. Film untuk tujuan apresiasi, eksperimental dan sejenisnya dibuat oleh kelompok orang atau perseorangan dapat dipertunjukkan dikalangan terbatas, misalnya film-film yang dibuat untuk keperluan festival.
Pasal 15 Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan sarana promosi film adalah sarana publikasi dan promosi film, baik yang berbentuk iklan, poster, stillphoto, slide, klise, trailer, banner, pamflet, brosur, ballyhoo, folder, plakat maupun sarana publikasi dan promosi lainnya.
Beberapa jenis dan bentuk sarana promosi film pada kenyataannya dapat dibuat oleh perseorangan berdasarkan keahlian, maka pembuatan sarana promosi film dapat pula dilakukan oleh usaha-usaha berskala kecil ataupun perseorangan.
Ayat (2)
Pembuatan sarana promosi film memperhatikan kesesuaian isi film yang dipromosikan, dimaksudkan agar masyarakat benar-benar dapat menikmati film yang isinya sesuai dengan sarana promosi film yang bersangkutan.
Pasal17
Ayat (1)
Hubungan hukum antara aktris dan aktor serta pekerja kreatif film dengan perusahaan pembuatan film dilakukan berdasarkan perjanjian kerja di antara mereka.
Ketentuan ini memberikan penegasan mengenai perlunya jaminan dan perlindungan hukum, seperti jaminan sosial dan asuransi bagi aktris dan aktor serta pekerja kreatif yang berkenaan dengan hal-hal yang bertalian dengan segi-segi profesi ataupun peran yang dimainkannya. Dengan demikian, setiap perjanjian kerja antara aktris dan aktor serta pekerja kreatif dan perusahaan pembuatan film harus memuat tentang jaminan sosial tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Adapun bentuk perlindungan hukum lainnya, misalnya apabila seorang aktris dan aktor merasa bahwa peran dalam suatu adegan bukanlah karya yang dimainkannya dan hal tersebut dinilainya merugikan dirinya secara profesi atau moral, maka yang bersangkutan dapat melakukan tuntutan berdasarkan perjanjian kerja.
Ayat (2)
Yang diatur dengan Peraturan Menteri antara lain adalah hak dan kewajiban antara para pihak, standar honorarium, asuransi, jam kerja, hak para pihak yang terlibat dalam pembuatan film, serta kompensasi atas pengulangan pemutaran suatu film dan lain-lain.
Aktor dan aktris, berhak mendapatkan kompensasi berupa uang apabila film yang didukungnya diputar kembali untuk usaha penjualan dan penyewaaan film serta penayangan melalui lembaga penyiaran televisi dalam dan luar negeri (Perjanjian secara timbal balik).
Aktris dan aktor di bawah umur mendapat perlindungan sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku
Pasal 18
Pada dasarnya, usaha jasa teknik dilakukan oleh perusahaan jasa teknik, namun perusahaan pembuatan film dapat pula melakukan usaha jasa teknik untuk film produksinya sendiri.
Pasal 19
Huruf a Cukup jelas
Huruf b Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan laboratorium pengolahan film adalah tempat memproses pita seluloid yang telah berisi rekaman gambar (exposed) sehingga menjadi film negatif induk.
Huruf d Cukup jelas
Huruf e Cukup jelas
Huruf f Cukup jelas
Huruf g
Yang dimaksud dengan pencetakan film adalah perbanyakan dari film negatif induk menjadi sejumlah salinan rekaman (copy) positif. Penggandaan film adalah perbanyakan pita video atau piringan video dan atau hasil penemuan teknologi lainnya.
Huruf h
Yang dimaksud dengan sarana lain adalah sarana yang sesuai dengan perkembangan dan kemajuan teknologi.
Pasal 20
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kelancaran ekspor film yang sudah lulus sensor, baik oleh perusahaan ekspor maupun oleh perusahaan yang membuatnya atau perusahaan yang berusaha di bidang pengedaran film dengan tetap memenuhi ketentuan perundang-perundangan untuk ekspor.
Pasal 21 Cukup jelas
Pasal 22 Cukup jelas
Pasal 23
Film impor yang dapat disulihsuarakan adalah film yang telah mendapat rekomendasi dari instansi yang terkait.
Pasal 24 Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan dipertunjukan atau ditayangkan kepada umum adalah kalangan terbatas tanpa dipungut bayaran.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan film untuk tujuan khusus adalah film untuk tujuan tertentu antara lain film pendidikan, film keagamaan, film instruksi, film untuk keperluan seminar, atau festival.
Ayat (4) Cukup jelas
Pasal 26
Yang dimaksud dengan perlakuan khusus adalah memberikan kemudahan dalam peredaran film Indonesia.
Pasal 27
Yang dimaksud dengan pengedaran meliputi kegiatan penyebarluasan film dan sarana promosi film.
Pada dasarnya pengedaran film hanya dapat dilaksanakan oleh perusahaan pengedaran film namun untuk memberikan kemudahan dan kelancaran peredaran film maka perusahaan pembuat film dapat mengedarkan film produksinya sendiri.
Pasal 28 Cukup jelas
Pasal 29 Cukup jelas
Pasal 30 Cukup jelas
Pasal 31
Ayat (1)
Gedung yang dibangun untuk pertunjukan film lazim disebut gedung bioskop. Yang dimaksud dengan tempat adalah ruang yang bukan gedung, yang dapat diperuntukkan bagi pertunjukan film dan atau penayangan film.
Ayat (2) Cukul jelas
Ayat (3)
Ketentuan ini lebih bersifat kelonggaran yang diberikan bagi keperluan tertentu seperti
1. kegiatan sosial masyarakat, acara keluarga, acara perkawinan, dan kegiatan lainnya untuk penayangan/penyuluhan dan hiburan yang dilakukan oleh pemerintah atau badan-badan/organiasi lainnya dengan tidak memungut bayaran;
2. pertunjukan film dan penayangan film secara berkeliling dengan atau tanpa memungut bayaran dari penonton.
Ayat (4) Cukup jelas
Pasal 32
Ayat (1)
Pada dasarnya penayangan film harus dilakukan oleh perusahaan-perusahaan namun untuk meningkatkan perfilman Indonesia dan memberikan wahana bagi para sineas dalam rangka eksperimental dapat dilakukan oleh komunitas.
Yang dimaksud dengan komunitas adalah para sineas yang berkarya untuk meningkatkan perfilman Indonesia.
Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas
Ayat (4) Cukup jelas
Pasal 33
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 34
Trailer film merupakan salah satu sarana promosi film yang berupa bagian-bagian cerita film.
Pasal 35
Ayat (1)
Maksud ketentuan ini adalah untuk memungkinkan pemerintah dapat menarik suatu film dari peredaran, pertunjukan dan atau penayangan terhadap film yang telah lulus sensor apabila film yang bersangkutan ternyata menimbulkan gangguan keamanan, ketertiban, ketenteraman, atau keselarasan hidup masyarakat.
Ayat (2)
Ayat ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada produser atau pemilik film yang merasa dirugikan untuk membela haknya dengan mengajukan gugatan terhadap pemerintah melalui peradilan.
Ayat (3) Cukup jelas
Pasal 36 Cukup jelas
Pasal 37
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas
Pasal 38
Ayat (1) Pengertian sarana promosi film mencakup film iklan yang mempublikasikan/ mempromosikan barang dan jasa kepada khalayak. Yang dimaksud dengan sarana promosi antara lain trailer, film, poster, baliho, banner, bilboard, one sheet, still photo, flyer, sampul/kemasan/ cover rekaman video.
Ayat (2)
Pada dasarnya setiap film wajib disensor dan diklasifikasi sebelum dipertunjukkan dan/atau ditayangkan kepada khalayak umum, kecuali untuk kepentingan tertentu seperti halnya penjurian dan pertunjukan untuk kalangan khusus dalam sebuah festival.
Tujuan penyensoran film adalah untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan dampak negatif pertunjukan dan atau penayangan film serta sarana promosi film yang ternyata tidak sesuai dengan dasar dan tujuan penyelenggaraan perfilman.
Ayat (3)
Tujuan pengklasifikasian film adalah disamping untuk melindungi masyarakat juga dimaksudkan untuk mempersiapkan penonton melakukan swasensor (selfcencorship).
Pasal 39
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan sulih suara adalah penggantian suara dari bahasa asing ke bahasa Indonesia.
Ayat (3) Cukup jelas
Pasal 40
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas
Ayat (4)
Film Indonesia yang ditolak seutuhnya diserahkan kembali kepada pemiliknya untuk disesuaikan dengan catatan lembaga non struktural yg bertugas menyensor film dan dapat diajukan kembali.
Film impor yang ditolak harus segera dikembalikan ke negara asalnya dan tidak dapat diajukan kembali.
Pasal 41 Cukup jelas
Pasal 42
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup Jelas
Ayat (3)
Film Indonesia yang ditolak seutuhnya diserahkan kembali kepada pemiliknya untuk disesuaikan dengan catatan lembaga non struktural yg bertugas mengklasifikasikan film dan dapat diajukan kembali. Film impor yang ditolak harus segera dikembalikan ke negara asalnya dan tidak dapat diajukan kembali.
Pasal 43
Ayat (1) Cukup Jelas
Ayat (2)
Pengajuan keberatan atau pembelaan terhadap film atau sarana promosi film yang ditolak oleh lembaga sensor hanya berlaku bagi perusahaan pembuatan film nasional.
Pasal 44 Cukup jelas
Pasal 45 Cukup jelas
Pasal 46
Ayat (1)
Wujud peran serta masyarakat dalam pengembangan mutu dan kemampuan profesi insan perfilman, misalnya dalam pembentukan lembaga pendidikan dan kritik film. Bentuk peningkatan apresiasi masyarakat, misalnya festival film dan pekan film.
Ayat (2)
Aktor dan aktris film adalah tenaga profesi yang mendapatkan penghasilan dari kegiatan yang berhubungan dengan pemeranan tokoh-tokoh dalam cerita film.
Pekerja kreatif film adalah tenaga profesi yang mendapatkan penghasilan karena melakukan karya kreatif dan artistik dalam pembuatan film dan sarana promosi film.
Ayat (3)
Standar kompetensi adalah standar kemampuan yang harus dimiliki oleh aktor dan artis serta pekerja kreatif film. Yang dimaksud pekerja kreatif antara lain;
Sutradara, Penulis Skenario, Penata Kamera, Penyunting, Penata artistik, Penata suara, Penata musik, Penata rias, Penata busana, Pemimpin Produksi.
Pasal 47 Cukup jelas
Pasal 48 Cukup jelas
Pasal 49
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pengembangan adalah upaya yang dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan dalam arti yang seluas-luasnya terhadap kegiatan perfilman.
Pengembangan diberikan melalui berbagai kebijaksanaan dan upaya yang mendorong kemajuan perfilman Indonesia, seperti meningkatkan manfaat keberadaan organisasi profesi perfilman, lembaga pendidikan, pengarsipan film, festival, kine klub dan kegiatan lain yang bertujuan untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap film.
Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 50 Cukup jelas
Pasal 51 Cukup jelas
Pasal 52 Cukup jelas
Pasal 53 Cukup jelas
Pasal 54 Cukup jelas
Pasal 55 Cukup jelas
Pasal 56 Cukup jelas
Pasal 57 Cukup jelas
Pasal 58 Cukup jelas
Pasal 59 Cukup jelas
Pasal 60 Cukup jelas
0 comments:
Post a Comment