Pages

Undang Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang :
a. bahwa kesehatan sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 melalui pembangunan nasional yang berkesinambungan berdasarkan Pancasiladan Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa pembangunan kesehatan diarahkan untuk mempertinggi derajat kesehatan, yang besar artinya bagi pengembangan dan pembinaan sumber daya manusia Indonesia dan sebagai modal bagi pelaksanaan pembangunan nasional yang pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia;
c. bahwa dengan memperhatikan peranan kesehatan di atas, diperlukan upaya yang lebih memadai bagi peningkatan derajat kesehatan dan pembinaan penyelenggaraan upaya kesehatan secara menyeluruh dan terpadu;
d. bahwa dalam rangka peningkatan derajat kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud butir b dan butir c, beberapa undang- undang di bidang kesehatan dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan kesehatan;
e. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, perlu ditetapkan Undang-undang tentang Kesehatan;



Mengingat :
Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:


UNDANG-UNDANG TENTANG KESEHATAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
2. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat.
3. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
4. Sarana kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan.
5. Transplantasi adalah rangkaian tindakan medis untuk memindahkan organ dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain atau tubuh sendiri dalam rangka pengobatan untuk menggantikan organ dan atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik.
6. Implan adalah bahan berupa obat dan atau alat kesehatan yang ditanamkan ke dalam jaringan tubuh untuk tujuan pemeliharaan kesehatan, pencegahan dan penyembuhan penyakit, pemulihan kesehatan, dan atau kosmetika.
7. Pengobatan tradisional adalah pengobatan dan atau perawatan dengan cara, obat, dan pengobatnya yang mengacu kepada pengalaman dan keterampilan turun temurun, dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat.
8. Kesehatan matra adalah upaya kesehatan yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan fisik dan mental guna menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang berubah secara bermakna baik lingkungan darat, udara, angkasa, maupun air.
9. Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika.
10. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.
11. Alat kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin, implan yang tidak mengandung obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit serta memulihkan kesehatan pada manusia dan atau untuk membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh.
12. Zat aktif adalah bahan yang penggunaannya dapat menimbulkan ketergantungan psikis.
13. Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep doktcr, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat, dan obat tradisional.
14. Perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan peralatan yang diperlukan untuk menyclenggarakan upaya kesehatan.

15. Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat adalah suatu cara penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan yang paripurna berdasarkan asas usaha bersama dan kekeluargaan, yang berkesinambungan dan dengan mutu yang terjamin serta pembiayaan yang dilaksanakan secara praupaya.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Pembangunan kesehatan diselenggarakan berasaskan perikemanusiaan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan merata, perikehidupan dalam keseimbangan, serta kepercayaan akan kemampuan dan kckuatan sendiri.

Pasal 3
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal.

BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN
Pasal 4
Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal.
Pasal 5
Setiap orang berkewajiban untuk ikut serta dalam memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan perseorangan, keluarga, dan lingkungannya.

BAB IV
TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB
Pasal 6
Pemerintah bertugas mengatur, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya keschatan.
Pasal 7
Pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat.
Pasal 8
Pemerintah bertugas menggerakkan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan dan pembiayaan kesehatan, dengan memperhatikan fungsi sosial sehingga pelayanan keschatan bagi masyarakat yang kurang mampu tetap terjamin.

Pasal 9
Pemerintah bertanggung jawab untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.







BAB V
UPAYA KESEHATAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 10
Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rchabilitatif) yang dilaksanakan secara menycluruh, terpadu, dan berkesinambungan.
Pasal 11
(1) Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dilaksanakan melalui kegiatan :
a. kesehatan keluarga;
b. perbaikan gizi;
c. pengamanan makanan dan minuman;
d. kesehatan lingkungan;
e. kesehatan kerja;
f. kesehatan jiwa;
g. pemberantasan penyakit;
h. penyembuhan penyakit dan pemulihan kcschatan;
i. penyuluhan kesehatan masyarakat;
j. pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan;
k. pengamanan zat adiktif;
l. kesehatan sekolah;
m. kesceatan olahraga;
n. pengobatan tradisional
o. keschatan matra.
(2) Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didukung oleh sumber daya kesehatan.

Bagian Kedua
Kesehatan Keluarga
Pasal 12
(1)
Kesehatan keluarga diselenggarakan untuk mewujudkan keluarga
sehat, kecil, bahagia, dan sejahtera.
(2)
Kesehatan keluarga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi
kesehatan suami istri, anak, dan anggota keluarga lainnya.
Pasal 13
Kesehatan suami istri diutamakan pada upaya pengaturan kelahiran data
rangka menciptakan ketuarga yang sehat dan harmonis.
Pasal 14
Kesehatan istri meliputi kesehatan pada masa prakehamilan, kehamilan,
pascapersalinan dan masa di luar kehamilan, dan persalinan.
Pasal 15
(1)
Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyclamatkan jiwa ibu
hamil dan atau janinnya, dapat ditakukan tindakan medis tertentu.
(2)
Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya
dapat dilakukan :
a.
berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya
tindakan tersebut;
b.
oleh tenaga keschatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung
jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli;
c.
dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami
atau keluarganya;
d.
pada sarana kesehatan tertentu.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan medis tertentu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 16
(1)
Kehamilan di luar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya
terakhir untuk membantu suami istri mendapat keturunan.
(2)
Upaya kehamilan diluar cara alami sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan
ketentuan :
a.
hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang
bersangkutan, ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum
berasal;
b.
dilakukan oleh tenaga keschatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu;
c.
pada sarana kesehatan tertentu.
(3)
Ketentuan mengenai persyaratan penyelenggaraan kehamilan di luar
cara alami sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 17
(1)
Kesehatan anak diselenggarakan untuk mewujudkan pertumbuhan dan
perkembangan anak.
(2)
Kesehatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
melalui peningkatan kesehatan anak dalam kandungan, masa bayi,
masa balita, usia prasekolah, dan usia sekolah.
Pasal 18
(1)
Setiap keluarga melakukan dan mengembangkan kesehatan keluarga
dalam keluarganya.
(2)
Pemerintah membantu pelaksanaan dan mengembangkan kesehatan
keluarga melalui penyediaan sarana dan prasarana atau dengan
kegiatan yang menunjang peningkatan kesehatan keluarga.
Pasal 19
(1)
Kesehatan manusia usia lanjut diarahkan untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan dan kemampuannya agar tetap produktif.
(2)
Pemerintah membantu penyelenggaraan upaya kesehatan manusia
usia lanjut untuk meningkatkan kualitas hidupnya secara optimal.

Bagian Ketiga
Perbaikan Gizi
Pasal 20
(1)
Perbaikan gizi diselenggarakan untuk mewujudkan terpenuhinya
kebutuhan gizi.
(2)
Perbaikan gizi meliputi upaya peningkatan status dan mutu gizi,
pencegahan, penyembuhan, dan atau pemulihan akibat gizi salah.
Bagian Keempat
Pengamanan Makanan dan Minuman
Pasal 21
(1)
Pengamanan makanan dan minuman diselenggarakan untuk
melindungi masyarakat dari makanan dan minuman yang tidak
memenuhi ketentuan mengenai standar dan atau persyaratan
keschatan.
(2)
Setiap makanan dan minuman yang dikemas wajib diberi tanda atau
label yang berisi :
a.
bahan yang dipakai;
b.
komposisi setiap bahan;
c.
tanggal, bulan, dan tahun kadaluwarsa;
d.
ketentuan lainnya.
(3)
Makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar dan
atau persyaratan kesehatan dan atau membahayakan kesehatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang untuk diedarkan,
ditarik dari peredaran, dan disita untuk dimusnahkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4)
Ketentuan mengenai pengamanan makanan dan minuman
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayal (2), dan ayat (3)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Kesehatan Lingkungan
Pasal 22
(1)
Kesehatan lingkungan diselenggarakan untuk mewujudkan kualitas
lingkungan yang sehat.

(2)
Kesehatan lingkungan dilaksanakan terhadap tempat umum,
lingkungan pemukiman, lingkungan kerja, angkutan umum, dan
lingkungan lainnya.
(3)
Kesehatan lingkungan meliputi penyehatan air dan udara,
pengamanan limbah padat, limbah cair, limbah gas, radiasi dan
kebisingan, pengendalian vektor penyakit, dan penyehatan atau
pengamanan lainnya.
(4)
Setiap tempat atau sarana pelayanan umum wajib memelihara dan
meningkatkan lingkungan yang sehat sesuai dengan standar dan
persyaratan.
(5)
Ketentuan mengenai penyelenggaraan kesehatan lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam
Kesehatan Kerja
Pasal 23
(1)
Kesehatan kerja diselenggarakan untuk mewujudkan produktivitas
kerja yang optimal.
(2)
Kesehatan kerja meliputi pclayanan kesehatan kerja, pencegahan
penyakit akibat kerja, dan syarat kesehatan kerja.
(3)
Setiap tempat kerja wajib menyelenggarakan kesehatan kerja.
(4)
Ketentuan mengenai kesehatan kerja sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketujuh
Kesehatan Jiwa
Pasal 24
(1)
Kesehatan jiwa diselenggarakan untuk mewujudkan jiwa yang schat
secara optimal baik intelektual maupun emotional.
(2)
Kesehatan jiwa meliputi pemeliharaan dan peningkatan kesehatan
jiwa, pencegahan dan penanggulangan masalah psikososial dan
gangguan jiwa, penyembuhan dan pemulihan penderita gangguan
jiwa.

(3)
Kesehatan jiwa dilakukan oleh perorangan, lingkungan keluarga,
lingkungan sekolah, lingkungan pekerjaan, lingkungan masyarakat,
didukung sarana pelayanan kesehatan jiwa dan sarana lainnya.
Pasal 25
(1)
Pemerintah melakukan pengobatan dan perawatan, pemulihan, dan
penyaluran bekas penderita gangguan jiwa yang telah selesai
menjalani pengobatan dan atau perawatan ke dalam masyarakat.
(2)
Pemerintah membangkitkan, membantu, dan membina kegiatan
masyarakat dalam pencegahan dan penanggulangan masalah
psikososial dan gangguan jiwa, pengobatan dan perawatan penderita
gangguan jiwa, pemulihan serta penyaluran bekas penderita ke dalam
masyarakat.
Pasal 26
(1)
Penderita gangguan jiwa yang dapat menimbulkan gangguan terhadap
keamanan dan ketertiban umum wajib diobati dan dirawat di sarana
pelayanan keschatan jiwa atau sarana pelayanan kesehatan lainnya.
(2)
Pengobatan dan perawatan penderita gangguan jiwa dapat dilakukan
atas permintaan suami atau istri atau wali atau anggota keluarga
penderita atau atas prakarsa pejabat yang bertanggung jawab atas
kcamanan dan ketertiban di wilayah setcmpat atau hakim pengadilan
bilamana dalam suatu perkara timbul persangkaan bahwa yang
bersangkutan adalah penderita gangguan jiwa.
Pasal 27
Ketentuan mengenai kesehatan jiwa dan upaya penanggulangannya
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedelapan
Pemberantasan Penyakit
Pasal 28
(1)
Pemberantasan penyakit diselenggarakan untuk menurunkan angka
kesakitan dan atau angka kematian.

(2)
Pemberantasan penyakit dilaksanakan terhadap penyakit menular dan
penyakit tidak menular.
(3)
Pemberantasan penyakit menular atau penyakit yang dapat
menimbulkan angka kesakitan dan atau angka kematian yang tinggi
dilaksanakan sedini mungkin.
Pasal 29
Pemberantasan penyakit tidak menular dilaksanakan untuk mencegah dan
mengurangi penyakit dengan perbaikan dan perubahan perilaku masyarakat
dan dengan cara lain.
Pasal 30
Pemberantasan penyakit menular dilaksanakan dengan upaya penyuluhan,
penyelidikan, pengebalan, menghilangkan sumber dan perantara penyakit,
tindakan karantina, dan upaya lain yang diperlukan.
Pasal 31
Pemberantasan penyakit menular yang dapat menimbulkan wabah dan
penyakit karantina dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang
yang berlaku.
Bagian Kesembilan
Penyembuhan Penyakit dan
Pemulihan Kesehatan
Pasal 32
(1)
Penyembuhan penyakit dan pemulihan keschatan diselenggarakan
untuk mengembalikan status kesehatan akibat penyakit,
mengembalikan fungsi badan akibat cacat atau menghilangkan cacat.
(2)
Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dilakukan dengan
pengobatan dan atau perawatan.
(3)
Pengobatan dan atau perawatan dapat dilakukan berdasarkan ilmu
kedokteran dan ilmu keperawatan atau cara lain yang dapat
dipertanggungjawabkan.

(4)
Pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu
kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
(5)
Pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan cara lain
yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pasal 33
(1)
Dalam penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat
dilakukan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh, transfuse
darah, implan obat dan atau alat kesehatan, serta bedah plastik dan
rekonstruksi.
(2)
Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh serta transfusi darah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan
kemanusiaan dan dilarang untuk tujuan komersial.
Pasal 34
(1)
Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
untuk itu dan dilakukan di sarana kesehatan tertentu.
(2)
Pengambilan organ dan atau jaringan tubuh dari seorang donor harus
memperhatikan kesehatan donor yang bersangkutan dan ada
persetujuan donor dan ahli waris atau keluarganya.
(3)
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan
transplantasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 35
(1)
Transfusi darah hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
(2)
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara transfusi darah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 36
(1)
Implan obat dan atau alat kesehatan ke dalam tubuh manusia hanya
dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu dan dilakukan di sarana kesehatan tertentu.
(2)
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan implan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 37
(1)
Bedah plastik dan rekonstruksi hanya dapat dilakukan oleh tenaga
keschatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan
dilakukan di sarana keschatan tertentu.
(2)
Bedah plastik dan rekonstruksi tidak boleh bertentangan dengan
norma yang berlaku dalam masyarakat.
(3)
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara bedah plastik dan
rekonstruksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kesepuluh
Penyuluhan Kesehatan Masyarakat
Pasal 38
(1)
Penyuluhan kesehatan masyarakat diselenggarakan guna
meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kemauan, dan kemampuan
masyarakat untuk hidup sehat, dan aktif berperan serta dalam upaya
kesehatan.
(2)
Ketentuan mengenai penyuluhan kesehatan masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kesebelas
Pengamanan Sediaan Farmasi
dan Alat Kesehatan
Pasal 39
Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan diselenggarakan untuk
melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan

sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu
dan atau keamanan dan atau kemanfaatan.
Pasal 40
(1)
Sediaan farmasi yang berupa obat dan bahan obat harus memenuhi
syarat farmakope Indonesia dan atau buku standar lainnya.
(2)
Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika serta alat
kesehatan harus memenuhi standar dan atau persyaratan yang
ditentukan.
Pasal 41
(1)
Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan sctelah
mendapat izin edar.
(2)
Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus
memenuhi persyaratan objektivitas dan kelengkapan serta tidak
menyesatkan.
(3)
Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan
penarikan dari peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang
telah memperoleh izin edar, yang kemudian terbukti tidak memenuhi
persyaratan mutu dan atau kcamanan dan atau kemanfaatan, dapat
disita dan dimusnahkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 42
Pekerjaan kefarmasian harus dilakukan dalam rangka menjaga mutu sediaan
farmasi yang beredar.
Pasal 43
Ketentuan tentang pengamanan sediaan farmasi dan alat keschatan
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua Belas
Pengamanan Zat Adiktif
Pasal 44
(1)
Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif
diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan
perorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungannya.
(2)
Produksi, peredaran, dan penggunaan bahan yang mengandung zat
adiktif harus memenuhi standar dan atau persyaratan yang
ditentukan.
(3)
Ketentuan mengenai pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga Belas
Kesehatan Sekolah
Pasal 45
(1)
Keschatan sekolah diselenggarakan untuk meningkatkan kemampuan
hidup sehat peserta didik dalam lingkungan hidup sehat sehingga
peserta didik dapat belajar, tumbuh, dan berkembang secara harmonis
dan optimal menjadi sumber daya manusia yang lebih bcrkualitas.
(2)
Keschatan sekolah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diselenggarakan melalui sekolah atau melalui lembaga pendidikan lain.
(3)
Ketentuan mengenai kesehatan sekolah sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat Belas
Kesehatan Olahraga
Pasal 46
(1)
Kesehatan olahraga diselenggarakan untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan melalui kegiatan olahraga.
(2)
Kesehatan olahraga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diselenggarakan melalui sarana olahraga atau sarana lain.
(3)
Ketentuan mengenai kesehatan olahraga sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima Belas
Pengobatan Tradisional
Pasal 47
(1)
Pengobatan traditional merupakan salah satu upaya pengobatan dan
atau perawatan cara lain di luar ilmu kedokteran atau ilmu
keperawatan.
(2)
Pengobatan traditional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) perlu
dibina dan diawasi untuk diarahkan agar dapat menjadi pengobatan
dan atau perawatan cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan
manfaat dan kcamanannya.
(3)
Pengobatan tradisional yang sudah dapat dipertanggungjawabkan
manfaat dan kcamanannya perlu terus ditingkatkan dan
dikembangkan untuk digunakan dalam mewujudkan derajat kesehatan
yang optimal bagi masyarakat.
(4)
Ketentuan mengenai pengobatan tradisional sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam Belas
Kesehatan Matra
Pasal 48
(1)
Kesehatan matra sebagai bentuk khusus upaya kesehatan
diselenggarakan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal
dalam lingkungan matra yang serba berubah.
(2)
Kesehatan matra meliputi kesehatan lapangan, kesehatan kelautan
dan bawah air, serta kesehatan kedirgantaraan.
(3)
Ketentuan mengenai kesehatan Matra sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI
SUMBER DAYA KESEHATAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 49
Sumber daya kesehatan merupakan semua perangkat keras dan perangkat
lunak yang diperlukan sebagai pendukung penyelenggaraan upaya
kesehatan, meliputi :
a.
tenaga kesehatan;
b.
sarana kesehatan;
c.
perbekalan kesehatan;
d.
pembiayaan kesehatan;
e.
pengelolaan kesehatan;
f.
penelitian dan pengembangan keschatan,
Bagian Kedua
Tenaga Kesehatan
Pasal 50
(1)
Tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan
kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan atau
kewenangan tenaga kesehatan yang bcrsangkutan.
(2)
Ketentuan mengenai kategori, jenis, dan kualifikasi tenaga keschatan
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 51
(1)
Pengadaan tenaga kesehatan untuk memenuhi kebutuhan di-
selenggarakan antara lain melalui pendidikan dan pelatihan yang
dilaksanakan olch pemerintah dan atau masyarakat.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyclenggaraan pendidikan dan
pelatihan tenaga keschatan ditetapkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 52
(1)
Pemerintah mengatur penempatan tenaga kesehatan dalam rangka
pemeralaan pelayanan kesehatan.

(2)
Ketentuan mengenai penempatan tenaga kesehatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 53
(1)
Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam
melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
(2)
Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk
mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.
(3)
Tenaga kesehatan, untuk kepentingan pcmbuktian, dapat melakukan
tindakan medis terhadap seseorang dengan memperhatikan kesehatan
dan keselamatan yang bersangkutan.
(4)
Ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dcngan Peraturan Pemerintah.
Pasal 54
(1)
Terhadap tenaga keschatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian
data melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.
(2)
Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kalalaian sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga
Kesehatan.
(3)
Ketentuan mengenai pembentukan, tugas, fungsi, dan tata kerja
Majelis Disiplin Tenaga Keschatan ditetapkan dcngan Keputusan
Presiden.
Pasal 55
(1)
Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian
yang dilakukan tenaga kesehatan.
(2)
Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Ketiga
Sarana Kesehatan
Pasal 56
(1)
Sarana kesehatan meliputi balai pengobatan, pusat kesehatan
masyarakat, rumah sakit umum, rumah sakit khusus, praktik dokter,
praktik dokter gigi, praktik dokter spcsialis, praktik dokter gigi
spesialis, praktik bidan, toko obat, apotek, pedagang besar farmasi,
pabrik obat dan bahan obat, laboratorium, sekolah dan akademi
kesehatan, balai pelatihan kesehatan, dan sarana kesehatan lainnya.
(2)
Sarana kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
diselenggarakan oleh pemerintah dan atau masyarakat.
Pasal 57
(1)
Sarana kesehatan berfungsi untuk melakukan upaya kesehatan dasar
atau upaya kesehatan rujukan dan atau upaya kesehatan penunjang.
(2)
Sarana kesehatan dalam penyelenggaraan kegiatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) tetap memperhatikan fungsi sosial.
(3)
Sarana kesehatan dapat juga dipergunakan untuk kepentingan
pendidikan dan pelatihan serta penclitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan.
Pasal 58
(1)
Sarana kesehatan tertentu yang diselenggarakan masyarakat harus
berbentuk badan hukum.
(2)
Sarana kesehatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan oleh pemerintah.
Pasal 59
(1)
Semua penyelenggaraan sarana kesehatan harus memiliki izin.
(2)
Izin penyelenggaraan sarana kesehatan diberikan dengan mem-
perhatikan pemerataan dan peningkatan mutu pelayanan kesehatan.
(3)
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara memperolch izin
penyelenggaraan sarana kesehatan ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.

Bagian Keempat
Perbekalan Kesehatan
Pasal 60
Perbekalan keschatan yang diperlukan dalam penyelenggaraan upaya
kesehatan meliputi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan perbekalan lainnya.
Pasal 61
(1)
Pengelolaan perbekalan kesehatan dilakukan agar dapat terpenuhinya
kebutuhan sediaan farmasi dan alat kesehatan serta perbekalan
lainnya yang terjangkau oleh masyarakat.
(2)
Pengelolaan perbekalan kesehatan yang berupa sediaan farmasi dan
alat keschatan dilaksanakan dengan memperhatikan pemenuhan
kebutuhan, kemanfaatan, harga, dan faktor yang berkaitan dengan
pemerataan penyediaan perbekalan kesehatan.
(3)
Pemerintah membantu penyediaan perbekalan kesehatan yang
menurut pertimbangan diperlukan olch sarana kesehatan.
Pasal 62
(1)
Pengadaan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan dibina
dan diarahkan agar menggunakan potensi nasional yang tersedia
dengan memperhatikan kelestarian lingkungan hidup termasuk
sumber daya alam dan sosial budaya.
(2)
Produksi sediaan farmasi dan alat keschatan harus dilakukan dengan
cara produksi yang baik yang berlaku dan memenuhi syarat-syarat
yang ditetapkan dalam farmakope Indonesia atau buku standar
lainnya dan atau syarat lain yang ditetapkan.
(3)
Pemerintah mendorong, membina, dan mengarahkan pemanfaatan
obat tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan dalam rangka
mewujudkan derajat kesehatan yang optimal.
Pasal 63
(1)
Pekerjaan kefarmasiaan dalam pengadaan, produksi, distribusi, dan
pelayanan sediaan farmasi harus dilakukan olch tenaga kesehatan
yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.

(2)
Ketentuan mengenai pelaksanaan pekerjaan kefarmasian sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 64
Ketentuan mengenai perbekalan kesehatan ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Kelima
Pembiayaan Kesehatan
Pasal 65
(1)
Penyelenggaraan upaya kesehatan dibiayai olch pemerintah dan atau
masyarakat.
(2)
Pemerintah membantu upaya kesehatan yang diselenggarakan oleh
masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, terutama upaya kesehatan bagi masyarakat rentan.
Pasal 66
(1)
Pemerintah mengembangkan, membina, dan mendorong jaminan
pemeliharaan kesehatan masyarakat sebagai cara, yang dijadikan
landasan setiap penyerlenggaraan pemeliharaan kesehatan yang
pembiayaannya dilaksanakan secara praupaya, berasaskan usaha
bersama dan kekeluargaan.
(2)
Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat merupakan cara
penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan dan pembiayaannya,
edikelola secara terpadu untuk tujuan meningkatkan derajat
kesehatan, wajib dilaksanakan olch setiap penyclenggara.
(3)
Penyelenggara jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat harus
berbentuk badan hukum dan memiliki izin operasional serta
kepesertaannya bersifat aktif.
(4)
Ketentuan mengenai penyclenggaraan jaminan pemeliharaan
kesehatan masyarakat ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam
Pengelolaan Kesehatan
Pasal 67
(1)
Pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan olch pcmerintah dan
atau masyarakat diarahkan pada pengembangan dan peningkatan
kcmampuan agar upaya kesehatan dapat dilaksanakan secara
berdayaguna dan berhasilguna.
(2)
Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi kegiatan
perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengendalian
program serta sumber daya yang dapat menunjang peningkatan
upaya kesehatan.
Pasal 68
Pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah dilaksanakan
olch perangkat kesehatan dan badan pemerintah lainnya, baik di tingkat
pusat maupun di tingkat daerah.
Bagian Ketujuh
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Pasal 69
(1)
Penelitian dan pengembangan kcsehatan dilaksanakan untuk memilih
dan menetapkan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna yang
diperlukan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan.
(2)
Penelitian, pengembangan, dan penerapan hasil penclitian pada
manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan
memperhatikan norma yang berlaku dalam masyarakat.
(3)
Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi kesehatan pada manusia harus dilakukan dengan
memperhatikan kesehatan dan keselamatan yang bersangkutan.
(4)
Ketentuan mengenai penclitian, pengembangan, dan penerapan hasil
penelitian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 70
(1)
Dalam melaksanakan penelitian dan pengembangan dapat dilakukan
bedah mayat untuk penyelidikan sebab penyakit dan atau sebab
kematian serta pendidikan tenaga keschatan.
(2)
Bedah mayat hanya dapat dilakukan koleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dengan
memperhatikan norma yang berlaku dalam masyarakat.
(3)
Ketentuan mengenai bedah mayat sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 71
(1)
Masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan serta dalam
penyelenggaraan upaya kesehatan beserta sumber dayanya.
(2)
Pemerintah membina, mendorong, dan menggerakkan swadaya
masyarakat yang bergerak di bidang keschatan agar dapat lebih
berdayaguna dan berhasilguna.
(3)
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara peran serla masyarakat di
bidang keschatan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 72
(1)
Peran serta masyarakat untuk memberikan pertimbangan dalam ikut
menentukan kebijaksanaan pemerintah pada penyelenggaraan
keschatan dapat dilakukan mclalui Badan Pertimbangan Kesehatan
Nasional, yang beranggotakan tokoh masyarakat dan pakar lainnya.
(2)
Ketentuan mengenai pembentukan, tugas pokok, fungsi, dan tata
kerja Badan Pertimbangan Kesehatan Nasional ditetapkan dengan
Keputusan Presiden.

BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Pertama
Pembinaan
Pasal 73
Pemerintah melakukan pembinaan terhadap semua kegiatan yang berkaitan
dengan penyelenggaraan upaya kesehatan.
Pasal 74
Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 diarahkan untuk
1.
mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal;
2.
terpenuhinya kebutuhan masyarakat akan pelayanan dan perbekalan
kesehatan yang cukup, aman, bermutu, dan terjangkau olch seluruh
lapisan masyarakat;
3.
melindungi masyarakat terhadap segala kemungkinan kejadian yang
dapat menimbulkan gangguan dan atau bahaya terhadap kesehatan;
4.
memberikan kemudahan dalam rangka menunjang peningkatan upaya
kesehatan;
5.
meningkatkan mutu pengabdian profesi tenaga kesehatan.
Pasal 75
Ketentuan mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 dan
Pasal 74 ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 76
Pemerintah melakukan pengawasan terhadap semua kegiatan yang berkaitan
dengan penyelenggaraan upaya kesehatan, baik yang dilakukan oleh
pemerintah maupun masyarakat.
Pasal 77
Pemerintah berwenang mengambil tindakan administratif terhadap tenaga
kesehatan dan atau sarana kesehatan yang melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan Undang-undang ini.

Pasal 78
Ketentuan mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IX
PENYIDIKAN
Pasal 79
(1)
Selain penyidik pejabat polisi negara Republik Indonesia juga kepada
pejabat pegawai negeri sipil tertentu di Departemen Kesehatan diberi
wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3209) untuk melakukan penyidikan tindak pidana
sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
(2)
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang :
a.
melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta
keterangan tentang tindak pidana di bidang kesehatan;
b.
melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga
melakukan tindak pidana di bidang kesehatan;
c.
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan
hukum schubungan dengan tindak pidana di bidang keschatan;
d.
melakukan pemeriksaan atas surat dan atau dokumen lain
tentang tindak pidana di bidang keschatan;
e.
melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang
bukti dalam perkara tindak pidana di bidang kesehatan;
f.
meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana di bidang kesehatan;
g.
menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti
yang membuktikan tentang adanya tindak pidana di bidang
kesehatan.
(3)
Kewenangan penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dilakukan menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana.

BAB X
KETENTUAN PIDANA
Pasal 80
(1)
Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu
terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2)
Barang siapa dengan sengaja menghimpun dana dari masyarakat
untuk menyelenggarakan pemeliharaan kesehatan, yang tidak
berbentuk badan hukum dan tidak memiliki izin operasional serta tidak
melaksanakan ketentuan tentang jaminan pemeliharaan keschatan
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) dan ayat
(3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
(3)
Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan dengan tujuan
komersial dalam pelaksanaan transplantasi organ tubuh atau jaringan
tubuh atau transfuse darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah).
(4)
Barang siapa dengan sengaja :
a.
mengedarkan makanan dan atau minuman yang tidak
memenuhi standar dan atau persyaratan dan atau
membahayakan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21 ayat (3);
b.
memproduksi dan atau mengedarkan sediaan farmasi berupa
obat atau bahan obat yang tidak memenuhi syarat farmakope
Indonesia dan atau buku standar lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1);
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 81
(1)
Barang siapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan segaja :
a.
melakukan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1);

b.
melakukan implan alat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 ayat (1);
c.
melakukan bedah plastik dan rekonstruksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1);
dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana
denda paling banyak Rp 140.000.000,00 (seratus empat puluh jula rupiah).
(2)
Barang siapa dengan sengaja :
a.
mengambil organ dari seorang donor tanpa memperhatikan
kesehatan donor dan atau tanpa persetujuan donor dan ahli
waris atau keluarganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
ayat (2);
b.
memproduksi dan atau mengedarkan alat keschatan yang tidak
memenuhi standar dan atau persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2);
c.
mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan tanpa
izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1);
d.
menyelenggarakan penelitian dan atau pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi kesehatan pada manusia tanpa
memperhatikan kesehatan dan keselamatan yang bersangkutan
serta norma yang berlaku dalam masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) dan ayat (3); dipidana
dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau
pidana denda paling banyak Rp 140.000.000,00 (scratus empat
puluh juta rupiah).
Pasal 82
(1)
Barang siapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja :
a.
melakukan pengobatan dan atau perawatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (4);
b.
melakukan transfusi darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
35 ayat (1);
c.
melakukan implan obat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
ayat (1);
d.
melakukan pekerjaan kefarmasian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 63 ayat (1);
e.
melakukan bedah mayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70
ayat (2);
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana
denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (scratus juta rupiah).

(2)
Barang siapa dengan sengaja :
a.
melakukan upaya kehamilan diluar cara alami yang tidak sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat
(2);
b.
memproduksi dan atau mengedarkan sediaan farmasi berupa
obat tradisional yang tidak memenuhi standar dan atau
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2);
c.
memproduksi dan atau mengedarkan sediaan farmasi berupa
kosmetika yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2);
d.
mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan yang
tidak memenuhi persyaratan penandaan dan informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2);
e.
memproduksi dan atau mengedarkan bahan yang mengandung
zat adiktif yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan
yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat
(2);
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana
denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 83
Ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80, Pasal 81, dan
Pasal 82 ditambah seperempat apabila menimbulkan luka berat atau
sepertiga apabila menimbulkan kematian.
Pasal 84
Barang siapa :
1.
mengedarkan makanan dan atau minuman yang dikemas tanpa
mencantumkan tanda atau label sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21 ayat (2);
2.
menyelenggarakan tempat atau sarana pelayanan umum yang tidak
memenuhi ketentuan standar dan atau persyaratan lingkungan yang
sehat sebagamna dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4);
3.
menyelenggarakan tempat kerja yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3);
4.
menghalangi penderita gangguan jiwa yang akan diobati dan atau
dirawat pada sarana pelayanan kesehatan lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1);
5.
menyelenggarakan sarana kesehatan yang tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) atau
tidak memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1);
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau

pidana denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta
rupiah).
Pasal 85
(1)
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80, Pasal 81, dan
Pasal 82 adalah kejahatan.
(2)
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 adalah
pelanggaran.
Pasal 86
Dalam Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Undang-undang ini dapat
ditetapkan denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 87
Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan
pelaksanaan dari :
1.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembukaan Apotek
(Lembaran Negara Tahun 1953 Nomor 18);
2.
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1953 tentang Penunjukan Rumah
Sakit-Rumah Sakit Partikulir Yang Merawat Orang-orang Miskin dan
Orang-orang Yang Kurang Mampu (Lembaran Negara Tahun 1953
Nomor 48);
3.
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan
(Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 131, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2068);
4.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1962 tentang Hygiene Untuk Usaha-
usaha Bagi Umum (Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 48,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2475);
5.
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan
(Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 79, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2576);
6.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1963 tentang Farmasi (Lembaran
Negara Tahun 1963 Nomor 81, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2580);

7.
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1964 tentang Wajib Kerja Tenaga
Paramedis (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 106, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2698);
8.
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene (Lembaran
Negara Tahun 1966 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2804);
9.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa
(Lembaran Negara Tahun 1966 Nomor 23, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2805);
pada saat diundangkannya Undang-undang ini masih tetap berlaku,
sepanjang tidak bertentangan dan atau belum diganti dengan peraturan yang
baru berdasarkan Undang-undang ini.
Pasal 88
(1)
Dengan berlakunya Undang-undang ini sarana kesehatan tertentu
yang diselenggarakan oleh masyarakat yang belum berbentuk badan
hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1), tetap dapat
melaksanakan fungsinya sampai dengan disesuaikan bentuk badan
hukumnya.
(2)
Penyesuaian bentuk badan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) wajib dilaksanakan selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sejak
tanggal mulai berlakunya Undang-undang ini.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 89
Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka :
1.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembukaan Apotek
(Lembaran Negara Tahun 1953 Nomor 18);
2.
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1953 tentang Penunjukan Rumah
Sakit-Rumah Sakit Partikulir Yang Merawat Orang-orang Miskin dan
Orang-orang Yang Kurang Mampu (Lembaran Negara Tahun 1953
Nomor 48);
3.
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan
(Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 131, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2068);
4.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1962 tentang Hygiene Untuk Usaha-
usaha Bagi Umum (Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 48,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2475);

5.
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan
(Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 79, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2576);
6.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1963 tentang Farmasi (Lembaran
Negara Tahun 1963 Nomor 91, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2580);
7.
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1964 tentang Wajib Kerja Tenaga
Paramedis (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 106, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2698);
8.
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene (Lembaran
Negara Tahun 1966 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara, Nomor
2804);
9.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa
(Lembaran Negara Tahun 1966 Nomor 23, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2805);
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 90
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Undang-
undang ini dengan pcnempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggat 17 September 1992
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 September 1992
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
MOERDIONO
__________________________________

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment